BALIKPAPAN, Fokusborneo.com – Setiap kali musim angin selatan tiba, gelombang laut tak hanya membawa ombak, tetapi juga berton-ton sampah yang menumpuk di pesisir Balikpapan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan, Sudirman, menjelaskan bahwa fenomena meningkatnya sampah laut ini memang bersifat musiman dan erat kaitannya dengan kondisi alam.
Menurutnya, pada periode Juli hingga September, tumpukan sampah yang terbawa gelombang bisa mencapai 6 hingga 9 ton per hari.
“Kalau musim angin selatan, sampah yang terbawa gelombang menumpuk cukup tinggi. Sampah-sampah itu didominasi plastik sekali pakai, limbah rumah tangga, dan potongan kayu. Dampaknya bukan hanya mengganggu keindahan pantai, tetapi juga mengancam ekosistem laut kita,” jelas Sudirman saat ditemui di kantornya, Selasa (30/9/2025).
Ia menuturkan, masalah sampah pesisir sebenarnya tidak hanya sebatas persoalan kebersihan, melainkan juga berkaitan langsung dengan keberlangsungan ekosistem mangrove, ikan, bahkan penyu yang ada di wilayah perairan Balikpapan.
“Sampah plastik sekali pakai dan limbah anorganik lainnya bisa tersangkut di akar mangrove, merusak biota, serta menurunkan kualitas lingkungan laut,” ungkapnya.
Sebagai langkah penanganan, Pemkot Balikpapan sudah menempatkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) sebagai titik pemrosesan di tengah jalur pengelolaan. Melalui fasilitas ini, sampah dari rumah tangga akan dipilah dan diproses kembali sebelum sisanya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Jadi, yang masuk ke TPA hanya sampah residu, atau sampah yang memang benar-benar tidak bisa lagi diolah,” ujarnya.
Selain mengoptimalkan TPST, DLH juga memperkuat program bank sampah yang sempat menurun saat pandemi Covid-19. Dari sekitar 120–130 bank sampah aktif sebelum pandemi, kini hanya tersisa 70-an. Tahun ini, setiap kelurahan ditargetkan memiliki minimal enam bank sampah.
Dengan begitu, jumlah total unit bisa melampaui 200 dan partisipasi masyarakat dalam memilah sampah sejak dari rumah dapat lebih optimal.
Sudirman menegaskan, keberadaan bank sampah bukan hanya solusi pengurangan timbulan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.
“Sampah anorganik seperti botol plastik, kardus, dan logam bisa ditukar dengan uang atau kebutuhan pokok. Dengan insentif semacam itu, kesadaran warga untuk memilah sampah sejak dari rumah semakin mudah ditumbuhkan,” ungkapnya.
Saat ini, beban TPA Manggar masih cukup berat dengan rata-rata 400 ton sampah masuk setiap harinya. Jika pengurangan dari hulu berjalan baik, umur layanan TPA bisa lebih panjang. DLH optimistis, penguatan pengolahan di sumber dan partisipasi aktif masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan sampah ke depan.
“Target kami jelas, yaitu mengurangi sebanyak mungkin sampah yang masuk ke TPA. Semua pihak harus berperan, dari rumah tangga, bank sampah, hingga TPST. Mari kita sama-sama menjaga kebersihan kota, terutama dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai atau pantai. Kalau masyarakat terlibat aktif, hasilnya akan lebih terasa bagi lingkungan dan generasi mendatang,” pungkas Sudirman. (*)
Discussion about this post