TARAKAN – Walikota Tarakan, dr. Khairul, tak menampik bahwa masalah pertanahan adalah persoalan klasik yang sangat pelik di wilayahnya.
Hal itu, ia sampaikan saat menghadiri sosialisasi Program Strategis Kementerian ATR/BPN bekerjasama dengan Anggota DPR RI Deddy Sitorus di Hotel Duta, Selasa (3/6/25).

“Di Tarakan, konflik pertanahan luar biasa, baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat, maupun antar instansi. Semua laporan akhirnya bermuara ke saya,” keluhnya.
Ia menceritakan pengalamannya saat menjabat Sekretaris Daerah (Sekda), di mana banyak pejabat terjerat kasus hukum gara-gara tanah. “Bahkan sampai lurah pun bisa masuk penjara karena persoalan tanah,” imbuhnya.
Salah satu contoh paling menonjol adalah kasus lahan seluas 130 hektar di Kecamatan Tarakan Utara yang dulunya direncanakan untuk pusat pemerintahan. Walaupun Pemkot memiliki sertifikat sah, masyarakat mulai mengklaim dan menanami lahan tersebut.
“Sertifikat kami terbit 13 tahun lalu, tapi sekarang muncul lagi PTSL di atas sertifikat yang sudah ada. Ini jadi problem karena dulu belum elektronikasi sehingga belum ter- cover dengan baik,” jelas dr. Khairul.
Walikota berharap dengan sistem yang lebih baik saat ini, overlapping penguasaan lahan bisa diminimalisir. “Kami sering bersengketa di pengadilan dan walaupun menang, itu sangat melelahkan,” katanya.
Meski Tarakan sudah dinyatakan sebagai kota lengkap dalam program PTSL periode sebelumnya, dr. Khairul menyadari masih ada sebagian yang belum terpetakan. Ia mengusulkan agar program PTSL ke depan dapat difokuskan pada masyarakat kurang mampu yang secara fisik menguasai lahan namun tidak memiliki dana untuk mengurus sertifikat.
“Banyak laporan masuk, orang berkebun puluhan tahun tapi tidak pernah mengurus sertifikat, tiba-tiba ada orang mampu mengurus dan sertifikatnya keluar. Ini PR besar kita,” tegasnya.
Walikota juga menyoroti masalah lahan negara yang dikuasai masyarakat dan berharap permasalahan ini bisa dibawa ke pemerintah pusat.
Ia mengusulkan agar lahan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun.
“Jika tidak selesai, masyarakat akan demo ke instansi lain, tapi dampaknya ke pemerintah daerah,” pungkasnya, sembari menyinggung permasalahan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang juga perlu diselesaikan.(Mt)