BALIKPAPAN — Pemerintah Kota Balikpapan terus memperkuat barisan pelindung masyarakat melalui peningkatan kapasitas aktivis di lini terdepan. Melalui Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), langkah nyata diambil dengan menggelar pelatihan khusus bagi para pegiat Perlindungan Perempuan dan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PPATBM).
Kegiatan yang dilaksanakan Rabu, 16 Juli 2025 di Hotel Grand Tjokro Balikpapan ini diikuti langsung oleh puluhan aktivis dari seluruh kelurahan. Mereka adalah garda awal dalam menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak—sekaligus agen perubahan yang bersentuhan langsung dengan warga sehari-hari.
“Para aktivis ini adalah wajah perlindungan sosial di tingkat akar rumput. Maka mereka perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang tidak setengah-setengah,” ujar Umar Adi, Kepala Bidang Perlindungan Anak DP3AKB Kota Balikpapan.

Pelatihan ini menghadirkan narasumber dari tingkat nasional. Salah satunya Yulisa Maharani, Tenaga Ahli LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), yang menyampaikan langsung materi tentang hak-hak korban, mekanisme perlindungan hukum, hingga pentingnya pendampingan bagi saksi dan korban kekerasan.
Tak hanya fokus pada kekerasan domestik atau fisik, pelatihan juga menyasar isu strategis lain. Tim dari Densus 88 turut hadir memberikan pemahaman mengenai bahaya infiltrasi paham radikalisme dalam lingkungan keluarga dan komunitas. Edukasi ini dinilai penting untuk membentengi masyarakat dari ancaman ideologi ekstrem.

“Kita tidak bisa hanya berpikir soal kekerasan yang tampak. Ada tantangan sosial yang lebih luas seperti radikalisme, yang juga bisa melukai keluarga secara langsung dan dalam jangka panjang,” jelas Umar.
Menurutnya, keberadaan PPATBM bukan sekadar relawan. Mereka menjalankan tugas penting: mendeteksi dini kasus, melapor ke lembaga resmi, hingga mendampingi korban dalam proses penyelesaian.
Dengan pelatihan ini, DP3AKB ingin memastikan bahwa aktivis lapangan bekerja dengan rasa percaya diri dan berbasis pada hukum serta prosedur yang benar.
“Seringkali mereka bekerja dengan keterbatasan informasi atau dukungan. Di sinilah peran pelatihan. Agar mereka tidak merasa sendiri, dan tahu bahwa negara hadir bersama mereka,” tambah Umar.
Selain memperkuat kapasitas individu, kegiatan ini diharapkan bisa memicu gerakan kolektif. Aktivis yang sudah dibekali ilmu akan kembali ke komunitas sebagai penggerak perubahan sosial—menyebarkan kesadaran, membangun jaringan, dan menciptakan sistem perlindungan yang aktif dari bawah.
DP3AKB menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor. Perlindungan perempuan dan anak, kata Umar, hanya akan efektif jika melibatkan tokoh masyarakat, dunia pendidikan, lembaga keagamaan, media, dan tentu saja, warga itu sendiri.
“Kalau semua pihak bergerak bersama, kita bisa ciptakan lingkungan yang aman dan berpihak pada kelompok rentan. Tujuan akhirnya adalah Balikpapan yang ramah perempuan dan anak, bukan hanya dalam dokumen kebijakan, tapi benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari,” tutupnya. (*)