BALIKPAPAN, Fokusborneo.com — Keterbatasan lahan, tingginya harga tanah, hingga perbedaan data backlog masih membayangi upaya penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Namun, melalui terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Kementerian dan sinergi lintas sektor, pemerintah optimistis mampu mempercepat pembangunan 3 juta rumah di berbagai daerah, termasuk Balikpapan sebagai kota penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sekretaris Direktorat Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Nasrullah, menegaskan SKB tersebut menjadi langkah penting dalam mempercepat program pembangunan rumah rakyat.
Kebijakan itu memberikan tiga kemudahan utama, yaitu pembebasan biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), penyederhanaan proses perizinan, serta percepatan penerbitan sertifikat tanah.
“Langkah ini diharapkan memangkas birokrasi, mempercepat pembangunan, dan memperluas akses masyarakat terhadap rumah layak huni,” ucap Nasrullah saat kegiatan koordinasi program perumahan wilayah Kalimantan di Balai Kota Balikpapan, Rabu (15/10).
Ia menyampaikan apresiasi terhadap pemerintah daerah di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara yang sudah menindaklanjuti kebijakan nasional dengan menerbitkan regulasi turunan di tingkat daerah.
Nasrullah menilai sektor swasta juga berperan besar melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam penyediaan rumah rakyat.
“Terima kasih untuk semua pihak yang telah berkontribusi nyata dalam menghadirkan rumah layak bagi masyarakat,” tuturnya.
Pemerintah Kota Balikpapan menjadi salah satu daerah yang menindaklanjuti program ini dengan memperluas akses pembiayaan melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Meski begitu, pelaksanaan di lapangan masih menemui kendala seperti keterbatasan lahan, lonjakan harga tanah, dan ketidaksamaan data backlog antara pusat dan daerah.
Berdasarkan data terakhir, backlog kepemilikan hunian di Balikpapan mencapai 85.502 unit. Wakil Wali Kota Balikpapan, Bagus Susetyo, menekankan perlunya sinkronisasi data agar perencanaan dan alokasi anggaran lebih akurat.
“Perbedaan data antara pusat dan daerah mencapai puluhan ribu unit. Kondisi ini bisa mempengaruhi arah kebijakan dan target pembangunan,” ujar Bagus.
Ia menyebut kebutuhan rumah subsidi di Balikpapan sekitar 25.000 unit per tahun dengan harga rata-rata Rp180 juta per unit. Namun, kenaikan harga lahan dan hambatan kelayakan kredit membuat realisasi masih terbatas.
Sebagai langkah antisipasi, pemerintah daerah mendorong pembangunan rumah vertikal yang lebih efisien dari sisi lahan dan mampu menjaga keseimbangan tata ruang kota. Kebijakan strategis juga diterapkan melalui Perwali Nomor 34 Tahun 2024 yang memberi insentif fiskal berupa pembebasan BPHTB dan retribusi PBG untuk proyek perumahan tertentu.
Pemanfaatan lahan aset pemerintah dan swasta yang belum digunakan turut dioptimalkan, bersamaan dengan penguatan koordinasi bersama asosiasi pengembang untuk memperlancar perizinan dan penyelesaian masalah teknis.
“Pembangunan perumahan harus sejalan dengan penyediaan fasilitas umum, akses transportasi, dan ruang sosial yang memadai,” kata Bagus.
Ia mengajak pengembang mempercepat kemitraan dengan pemerintah untuk memperluas jangkauan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, pengembang, dan masyarakat, Balikpapan berupaya menjadi kota penyangga IKN yang menyediakan hunian inklusif serta mendorong pertumbuhan ekonomi berkeadilan.
“Rumah bukan lagi hanya bangunan, tetapi tempat tumbuhnya harapan dan kehidupan yang lebih baik,” tutup Bagus. (*)
Discussion about this post