BALIKPAPAN, Fokusborneo.com — Persoalan sengketa tanah hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai di Kota Balikpapan. Di tengah pesatnya pembangunan dan naiknya minat investasi, kasus tumpang tindih lahan, sertifikat ganda, hingga klaim sepihak terus bermunculan dan menjadi sumber keresahan masyarakat.
Berbagai data menunjukkan persoalan agraria di kota ini sudah berlangsung lama dan belum sepenuhnya terselesaikan. Pada tahun 2020, Wali Kota Balikpapan saat itu pernah mengungkapkan adanya sekitar 8.000 kasus pertanahan yang menumpuk, sebagian besar merupakan sengketa lama yang masih menggantung.
Tahun yang sama, Ombudsman Kalimantan Timur mencatat 33 laporan resmi masyarakat terkait agraria dan pertanahan di Balikpapan.
Setahun kemudian, jumlah laporan meningkat menjadi 70 kasus. Dan pada 2023, Balikpapan tercatat sebagai kota dengan jumlah sengketa tanah tertinggi di Kalimantan Timur, yakni 95 kasus dari total 165 kasus di seluruh provinsi. Sebagian besar kasus melibatkan konflik antara masyarakat dengan pengembang, tumpang tindih sertifikat, hingga penguasaan lahan tanpa hak.
Situasi ini menurut H. Abdul Rais, pakar hukum dan pengamat kebijakan publik di Balikpapan, menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap prosedur hukum dalam jual beli tanah. Ia menilai, banyak warga tergiur harga murah tanpa memastikan status legalitas tanah, sehingga akhirnya terjebak dalam sengketa yang panjang.
“Banyak kasus terjadi karena masyarakat membeli tanah hanya berdasarkan surat keterangan atau tanda tangan RT, tanpa cek keaslian sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal itu langkah paling penting sebelum transaksi dilakukan,” jelas Abdul Rais.
Menurutnya, setiap proses jual beli tanah harus dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) resmi, disertai dokumen lengkap dan valid. Selain itu, calon pembeli juga wajib memeriksa riwayat lahan di kelurahan dan kecamatan.
“Jangan hanya percaya pada pengakuan penjual. Harus dicek langsung ke instansi berwenang agar tidak menyesal kemudian,” tegasnya.
Abdul Rais juga mengingatkan masyarakat untuk mendokumentasikan seluruh berkas transaksi dalam bentuk digital. Langkah ini penting sebagai bukti hukum apabila terjadi masalah di kemudian hari.
“Simpan juga salinan elektronik di email atau penyimpanan daring. Banyak kasus sengketa kandas karena bukti fisik hilang,” ujarnya.
Selain dari aspek administratif, ia menilai pengecekan di lapangan menjadi bagian penting dalam proses pembelian tanah. “Datangi lokasi, bicarakan dengan ketua RT, tetangga, dan lurah. Dari situ bisa diketahui apakah lahan tersebut pernah disengketakan atau tidak. Banyak sengketa muncul karena pembeli tidak tahu lahan itu sudah dijual dua kali,” terangnya.
Lebih jauh, Abdul Rais menyoroti kawasan Industri Kariangau (KIK) sebagai salah satu contoh wilayah yang rawan konflik lahan. Kawasan ini mengalami peningkatan nilai tanah yang sangat cepat akibat ekspansi industri dan logistik. Namun, tanpa pengawasan pemerintah, kenaikan harga justru memicu spekulasi dan memperumit persoalan hukum.
“Harga tanah di kawasan industri itu melambung tinggi, bahkan tidak terkendali. Kalau pemerintah sejak awal melakukan pembebasan lahan untuk industri, tentu tidak serumit ini. Sekarang masyarakat banyak yang berspekulasi, sementara investor jadi kesulitan mencari lahan,” ungkapnya.
Menurutnya, peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mengatur mekanisme harga dan tata ruang lahan industri agar tidak menimbulkan ketimpangan. Pemerintah juga harus memperkuat sinergi antara BPN, aparat penegak hukum, dan pemerintah kota dalam mempercepat penyelesaian kasus yang menumpuk.
Selain itu, Abdul Rais menyoroti pentingnya edukasi hukum bagi masyarakat, terutama di level kelurahan dan kecamatan. Sosialisasi mengenai prosedur jual beli tanah, legalitas sertifikat, hingga risiko hukum atas tanah warisan perlu digencarkan agar warga tidak mudah tertipu.
“Kalau masyarakat paham hukum, mereka tidak akan mudah tergiur janji atau harga murah. Pemerintah dan BPN juga perlu membuka layanan konsultasi terbuka supaya masyarakat bisa bertanya langsung sebelum membeli,” tambahnya.
Ia menegaskan, sengketa tanah tidak hanya merugikan pihak perorangan, tetapi juga berdampak besar terhadap iklim investasi dan pembangunan kota. Investor cenderung menunda atau membatalkan proyek jika status lahan belum jelas.
Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Balikpapan yang kini sedang bertransformasi sebagai kota penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Kalau lahan-lahan strategis terus bermasalah, investor akan berpikir ulang untuk menanam modal. Jadi penyelesaian sengketa tanah ini tidak bisa ditunda, karena menyangkut masa depan ekonomi kota,” kata Abdul Rais.
Ia juga menilai perlunya pembenahan pada sistem informasi pertanahan di Balikpapan. Digitalisasi data kepemilikan tanah dan sertifikat, menurutnya, dapat mempercepat verifikasi serta mencegah terjadinya sertifikat ganda.
“BPN dan pemerintah kota perlu segera memperkuat sistem digital agar publik bisa mengakses status tanah secara cepat dan transparan,” ujarnya.
Sebagai penutup, Abdul Rais kembali mengingatkan agar masyarakat tidak tergesa-gesa membeli lahan tanpa memahami risikonya. Ia berharap seluruh pihak, mulai dari warga, notaris, hingga pejabat pemerintah, bersama-sama menciptakan sistem pertanahan yang tertib dan transparan.
“Kalau semua pihak taat aturan dan terbuka, sengketa tanah bisa diminimalkan. Jangan tunggu masalah muncul dulu baru sibuk mencari solusi. Lebih baik berhati-hati sejak awal,” pungkasnya. (oc/ar)
Discussion about this post