TARAKAN, Fokusborneo – Isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi sorotan utama dalam kegiatan Sosialisasi Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang digelar di Universitas Terbuka (UT) Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), Sabtu (25/10/25).
Kegiatan yang merupakan hasil kolaborasi antara Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kaltara dengan Kementerian/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ini, menekankan pada urgensi penanganan komprehensif untuk PMI.
Ketua Pemuda ICMI Kaltara, dr. M. Ihya U Rahawarin, yang juga menjabat Ketua Sinar (Solidaritas Migran Indonesia dan Perbatasan Kaltara), secara tegas menyampaikan PMI seringkali dipandang sebelah mata dan rentan menjadi korban, alih-alih dihormati sebagai pahlawan devisa.
”Kita harus akui bahwa kita melihatnya ini tidak sebagai pahlawan, bahkan kadang kala korban datang sudah dengan berbagai masalah,” ujar dr. Ihya.
Menurutnya, pandangan ini harus diubah, dan migrasi aman serta bermartabat harus diwujudkan melalui literasi dan advokasi yang jelas, serta diplomasi budaya.
Dalam kesempatan tersebut, dr. Ihya menyoroti tiga tantangan utama yang dihadapi PMI, khususnya di perbatasan, dan menawarkan solusi yang berfokus pada inovasi perlindungan.
Ia melihat banyak PMI berlatar belakang pendidikan menengah ke bawah sehingga minim literasi hukum dan prosedur bekerja di luar negeri.
“Makanya solusinya perlu membangun kolaborasi untuk menghadirkan sekolah-sekolah atau lokasi pembekalan/pembimbingan bagi calon PMI.
Begitu juga perlindungan terhadap migran ilegal atau jalur nodong, karena banyak pekerja memilih jalur tidak legal yang berujung pada masalah saat keberangkatan maupun kepulangan.
“Itu lah pentingnya kesamaan pandangan dan konsep untuk memastikan pekerja menggunakan gerbang legal dan tidak melalui lorong-lorong yang sembunyi-sembunyi,” ujarnya.
Permasalahan lainnya soal keuangan, kekerasan, dan literasi keuangan masih minim. Sehingga PMI rentan menjadi korban penipuan, kekerasan, dan memiliki manajerial keuangan yang buruk.
“Untuk mencegah hal tersebut perlu mendorong program seperti sekolah migran, agen informasi pemuda, dan literasi keuangan,” tambahnya.
Khusus untuk informasi pemuda, Pemuda ICMI Kaltara sedang merintis kerja sama dengan Pemuda PAS di Malaysia, sayap kepemudaan partai pemenang pemilu di sana, untuk menjalin konektivitas dan kepedulian bersama terhadap pekerja Indonesia di negara tetangga.
Lebih lanjut, dr. Ihya menekankan pentingnya mengubah cara pandang negara terhadap PMI. Ia membandingkan bagaimana negara lain sangat konsen terhadap satu warga negaranya sebagai aset modal kapital.
”Apakah negara kita memandang bahwa tenaga kerja kita seperti itu? Saya kira belum,” kritiknya.
Ia berharap, di masa depan, PMI dapat menjadi “warga negara kelas 1”, di mana pemerintah bergerak cepat dan maksimal ketika ada warganya yang bermasalah.
Selain itu, ia juga mendorong PMI mencari negara tujuan yang ramah dan memberikan penghidupan yang layak sebagai opsi alternatif, serta memandang bekerja sebagai ibadah yang memerlukan persiapan, aturan, dan pembekalan yang matang tentang legal dan berilmu, seperti halnya ibadah Haji.(Mt)














Discussion about this post