TARAKAN – Isu pertanahan menjadi sorotan utama dalam Sosialisasi Program Strategis Kementerian ATR/BPN yang diselenggarakan di Hotel Duta, Selasa (3/6/25). Acara yang bekerja sama dengan Anggota DPR RI Deddy Sitorus ini, mengungkap sejumlah permasalahan kompleks, mulai dari penurunan drastis target sertifikasi tanah hingga sengketa lahan yang tak kunjung usai di Tarakan.
Hadir dalam sosialisasi tersebut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi Kalimantan Timur dan Utara (Kakltimtara), Deni Ahmad Hidayat, S.H., M.H., serta Kepala BPN Kota Tarakan, Dasih Tjipto Nugroho, A.Ptnh., M.A.P.

Dalam sambutannya, Deni Ahmad Hidayat mengungkapkan kekecewaannya terkait penurunan target penerbitan sertifikasi tanah untuk tahun 2025. “Target nasional seharusnya 126 juta hektar, namun tahun ini ada pengurangan signifikan,” ujarnya.
Dampak pengurangan ini sangat terasa di Kaltimtara. Jika sebelumnya kedua kanwil ini mampu menyelesaikan 92 ribu sertifikat, kini target gabungan hanya sekitar 5.400.
Ironisnya, Kaltara sendiri hanya mendapat jatah 1.500 sertifikat, dengan rincian Nunukan 400, Tarakan 259, Malinau 650, dan Bulungan sisanya sekitar 250.
“Saya berharap Anggota DPR RI dapil Kaltara, Deddy Sitorus, bisa mendorong dan memperjuangkan penambahan anggaran agar target Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kaltara bisa meningkat,” harap Deni.

Walikota Tarakan, dr. Khairul, tak menampik bahwa masalah pertanahan adalah persoalan klasik yang sangat pelik di wilayahnya. “Di Tarakan, konflik pertanahan luar biasa, baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat, maupun antar instansi. Semua laporan akhirnya bermuara ke saya,” keluhnya.
Ia menceritakan pengalamannya saat menjabat Sekretaris Daerah (Sekda), di mana banyak pejabat terjerat kasus hukum gara-gara tanah. “Bahkan sampai lurah pun bisa masuk penjara karena persoalan tanah,” imbuhnya.
Salah satu contoh paling menonjol adalah kasus lahan seluas 130 hektar di Kecamatan Tarakan Utara yang dulunya direncanakan untuk pusat pemerintahan. Walaupun Pemkot memiliki sertifikat sah, masyarakat mulai mengklaim dan menanami lahan tersebut.
“Sertifikat kami terbit 13 tahun lalu, tapi sekarang muncul lagi PTSL di atas sertifikat yang sudah ada. Ini jadi problem karena dulu belum elektronikasi sehingga belum ter- cover dengan baik,” jelas dr. Khairul.
Walikota berharap dengan sistem yang lebih baik saat ini, overlapping penguasaan lahan bisa diminimalisir. “Kami sering bersengketa di pengadilan dan walaupun menang, itu sangat melelahkan,” katanya.

Anggota DPR RI Deddy Sitorus menegaskan bahwa urusan tanah adalah urusan “hidupnya orang.” Menurutnya, Kaltara memiliki potensi besar dengan pembangunan PLTA dan kawasan industri, namun keadilan agraria harus menjadi prioritas.
“Tanah tidak akan pernah bertambah, yang bertambah itu manusianya,” ujarnya.
Ia menyayangkan masih banyak ketimpangan, di mana korporasi bisa menguasai ratusan ribu hektar, sementara rakyat berdarah-darah hanya untuk mendapatkan 200 meter persegi.
“Kita merdeka untuk keadilan agraria, bukan agar hanya ganti kulit penjajah,” sentil Deddy.
Ia menyoroti lambatnya pendistribusian lahan bagi rakyat dibandingkan kemudahan korporasi mendapatkan puluhan ribu hektar lahan sawit atau tambang.
Deddy Sitorus berharap Satuan Tugas (Satgas) yang baru-baru ini datang ke Kaltara untuk meninjau penguasaan lahan perusahaan sawit dapat menjadi solusi. Ia mengusulkan agar lahan yang terbukti melanggar hukum tidak ditarik ke BUMN atau dikuasai satu entitas, melainkan dibagi kepada rakyat sebagai bagian dari “bank tanah” pemerintah.
“Ada kebun yang mengambil tanah hutan, bagi dong kepada rakyat, dimulai dari rakyat yang ada di sekitar situ juga,” tegasnya.
Menurutnya, ini adalah wujud nyata kemerdekaan. “Kalau tidak, ya sekalian saja Belanda terusin kemarin, apa bedanya kita cuma beda warna kulit doang sama-sama niatnya menjajah orang-orang biasa,” cetusnya.
Ia juga menyoroti kerumitan regulasi yang menghambat penyelesaian masalah lahan, seperti lahan Pertamina yang tidak produktif namun sulit diserahkan kepada Pemkot Tarakan karena terbelit banyak kementerian.
“Kadang-kadang kita mikir, presiden saja belum tentu bisa beresin apalagi kita,” ujarnya frustrasi.
Deddy Sitorus menutup dengan menekankan bahwa mengurus tanah rakyat bukan sekadar program, melainkan sebuah “jihad”. “Karena di sana itu kayak gini Pak, untuk dia hidup, untuk dia berusaha. Jadi enggak bisa main-main,” pungkasnya, mengakhiri sosialisasi yang penuh dengan diskusi sengit mengenai masa depan pertanahan di Tarakan.(Mt)