Demo atau unjuk rasa dalam sejarah bangsa kerap diidentikkan dengan kericuhan. Di banyak tempat, aksi massa sering berujung pada bentrokan dengan aparat, kerusakan fasilitas umum, bahkan korban jiwa. Karena itulah, tidak sedikit masyarakat yang merasa was-was begitu mendengar kabar akan adanya demonstrasi besar.
Namun, ada satu momen bersejarah yang memberi warna berbeda. Pada 2 Desember 2016, jutaan orang dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di Jakarta. Hari itu, yang kemudian dikenal sebagai Aksi 212, menjadi catatan penting: sebuah demonstrasi terbesar dalam sejarah modern kita, tetapi berjalan dengan damai, tertib, religius, dan justru meninggalkan kesan indah.
Lautan Manusia yang Teduh
Sejak dini hari, rombongan demi rombongan datang dari berbagai daerah. Ada yang menempuh perjalanan jauh dengan bus, kereta, kapal laut, bahkan pesawat. Tidak sedikit pula yang berjalan kaki dari stasiun atau terminal menuju pusat kota. Tujuan mereka sama: berkumpul di kawasan Monumen Nasional (Monas) untuk menyampaikan aspirasi secara bersama.
Jika dilihat dari udara, Monas dan sekitarnya bagaikan lautan manusia. Putih menjadi warna dominan, menyimbolkan niat tulus dan kedamaian. Namun, yang paling menggetarkan bukanlah jumlah massa, melainkan suasananya. Tidak ada dorong-dorongan yang menimbulkan amarah, tidak ada keributan kecil yang membesar, tidak ada coret-coretan di dinding atau perusakan fasilitas umum. Yang ada justru dzikir, doa, lantunan ayat suci, serta senyum persaudaraan.
Sesekali, hujan turun membasahi massa. Tetapi bukannya bubar, jutaan orang itu tetap bertahan, melanjutkan ibadah bersama. Payung-payung terbuka, jas hujan dipakai, dan sebagian lainnya tetap duduk beralas tikar sederhana. Aksi ini tidak hanya mencerminkan kebersamaan, tetapi juga kesabaran.
Tertib dan Bersih
Salah satu hal yang membuat Aksi 212 dikenang sebagai demonstrasi berbeda adalah jejak kebersihan yang ditinggalkannya. Usai acara, para peserta dengan kesadaran sendiri memungut sampah. Jalanan yang sebelumnya dipenuhi jutaan orang berangsur kembali rapi. Bahkan rumput di kawasan Monas tetap terjaga, seakan jutaan orang itu sadar bahwa menyampaikan aspirasi tidak boleh merusak lingkungan.
Bandingkan dengan banyak demonstrasi lain, baik di dalam maupun luar negeri, yang meninggalkan tumpukan sampah, coretan, bahkan reruntuhan. Aksi 212 justru menjadi teladan bahwa aspirasi politik dan kebersihan lingkungan bisa berjalan seiring.
Selain itu, tidak ada rumah ibadah lain yang terganggu. Gereja Katedral Jakarta yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Monas tetap berfungsi normal, bahkan ada pasangan yang melangsungkan pernikahan di sana pada hari yang sama. Ini adalah bukti nyata bahwa aksi jutaan umat Islam tidak dimaksudkan untuk mengganggu, melainkan untuk menyuarakan aspirasi dalam bingkai damai dan toleran.
Demokrasi yang Beradab
Apa makna yang bisa kita tarik dari peristiwa itu? Pertama, bangsa ini telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak harus identik dengan kekerasan. Demokrasi bisa hadir dengan wajah teduh, religius, dan santun. Kedua, massa yang begitu besar ternyata bisa mengelola dirinya sendiri tanpa harus selalu bergantung pada aparat. Kesadaran kolektif inilah yang menjadi modal sosial berharga.
Ketiga, aksi itu memperlihatkan bahwa nilai-nilai spiritual bisa memberi energi positif bagi demokrasi. Ketika aspirasi disampaikan dengan doa, dzikir, dan ibadah, tensi politik menjadi lebih terkontrol. Orang datang bukan untuk melampiaskan amarah, melainkan untuk mengedepankan etika.
Keempat, Aksi 212 sekaligus membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar, mampu menyuarakan aspirasi politik tanpa menakutkan, tanpa chaos, bahkan dengan penuh estetika. Media asing banyak yang menyoroti bagaimana jutaan orang berkumpul tetapi tetap damai. Ini tentu menjadi kebanggaan sekaligus tantangan.
Cermin dan Tantangan
Namun, refleksi tidak boleh berhenti pada kebanggaan. Pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana nilai-nilai yang dipraktikkan saat itu bisa dijaga dalam kehidupan berbangsa ke depan?
Di era sekarang, kita menghadapi tantangan lain: polarisasi politik yang tajam, pertarungan opini di media sosial yang sering kali kasar, dan menurunnya etika publik dalam berdiskusi. Banyak orang yang lebih cepat marah, lebih gemar menyebar hoaks, dan lebih mudah menghina. Padahal, jika dibandingkan dengan suasana 212, kita punya contoh nyata bagaimana aspirasi besar bisa disalurkan dengan cara yang beradab.
Kita bisa saja berbeda pandangan, berbeda pilihan politik, bahkan berbeda keyakinan. Tetapi perbedaan itu tidak harus menghapus etika dan kesantunan. Aksi 212 memberi kita pelajaran bahwa suara jutaan orang bisa tetap ramah pada sesama, tetap menghormati tempat ibadah lain, tetap menjaga ruang publik agar bersih.
Penutup: Inspirasi yang Tidak Boleh Hilang
Enam tahun lebih sudah berlalu sejak 2 Desember 2016. Tetapi ingatan tentang lautan manusia di Monas yang damai itu masih melekat. Ia bukan sekadar peristiwa politik, melainkan teladan sosial. Bahwa aspirasi bisa disuarakan tanpa intimidasi. Bahwa religiusitas bisa berjalan seiring dengan demokrasi. Bahwa kebersihan, ketertiban, dan etika bisa menjadi ciri sebuah demonstrasi.
Kini, saat bangsa kita kerap menghadapi ketegangan sosial-politik, seharusnya kita bercermin ke peristiwa itu. Jika jutaan orang bisa damai, mengapa segelintir elit politik sering kali justru gaduh? Jika massa bisa menjaga etika, mengapa diskusi di media sosial lebih sering diwarnai caci maki?
Sejarah memberi kita contoh. Tinggal kita, apakah mau menjadikannya inspirasi atau sekadar nostalgia. Jika bangsa ini mampu meneguhkan nilai-nilai 212 sebagai bagian dari budaya demokrasi, maka kita bisa lebih optimistis menghadapi masa depan. Sebab, bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari jumlah penduduknya, melainkan juga dari kedewasaan etika warganya dalam menyuarakan kebenaran.
Oleh: Subono Samsudi
Lulusan S2 Studi Pembangunan ITB, pernah bekerja di Departemen Pertambangan dan Energi, serta hampir 30 tahun berkarier di bidang lingkungan hidup, termasuk sebagai Kepala Dinas di Kota Tarakan. Kini aktif menulis opini dan memimpin Komunitas Mantap Indonesia, Tarakan.
Discussion about this post