Tarakan sudah dikenal dengan kisah sukses konservasi bekantan melalui KKMB. Kini, saatnya kota ini melangkah lebih jauh dengan menghadirkan Aviary Enggang sebagai ikon baru yang memadukan konservasi, edukasi, dan wisata.
Kota Tarakan selama dua dekade terakhir dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang cukup berhasil dalam upaya pelestarian lingkungan. Salah satu kisah sukses yang patut dibanggakan adalah keberadaan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB). Di tengah kota yang padat, kawasan seluas sekitar 22 hektar ini menjadi habitat alami bagi ratusan ekor bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik Kalimantan yang terkenal sensitif dan mudah stres. Fakta bahwa Tarakan mampu menjadikan bekantan sebagai ikon konservasi sekaligus ikon wisata adalah sesuatu yang langka, bahkan dalam skala nasional.
Keberhasilan ini mestinya menjadi pijakan untuk melahirkan gagasan baru. Kota Tarakan perlu terus berinovasi agar tidak hanya dikenal dengan sebutan “The Little Singapore” atau “Kota Jasa dan Perdagangan”, tetapi juga sebagai kota yang memiliki komitmen kuat terhadap konservasi satwa dan ekowisata berkelanjutan. Salah satu ide yang layak dipertimbangkan adalah membangun Aviary Enggang—sebuah sanctuary atau rumah burung besar yang menjadikan enggang (hornbill) sebagai ikon utamanya.
Mengapa Enggang?
Burung enggang atau rangkong bukan sekadar satwa endemik Kalimantan. Ia adalah simbol budaya dan spiritual masyarakat Dayak. Dalam banyak tradisi, enggang dianggap sebagai utusan langit, lambang kebesaran, dan keabadian. Sayangnya, di alam liar populasinya terus terancam akibat berkurangnya hutan primer, perburuan, dan perdagangan ilegal.
Dulu, hingga tahun 1990-an, burung enggang masih relatif mudah dijumpai terbang di langit Tarakan. Kini, melihatnya di habitat asli menjadi sebuah kemewahan. Jika Tarakan mampu menghadirkan aviary khusus enggang, maka bukan hanya aspek konservasi yang terjawab, tetapi juga ada nilai identitas lokal dan kebanggaan budaya yang bisa dipertahankan.
Inspirasi dari Luar
Gagasan ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Di Singapura, ada Jurong Bird Park yang menjadi destinasi wisata kelas dunia. Di Indonesia sendiri, publik sudah mengenal deHakims Aviary milik artis Irfan Hakim di Bekasi, yang berhasil mengoleksi ratusan jenis burung dalam habitat buatan yang alami. Meski berskala lebih kecil, Tarakan bisa mengambil inspirasi dari konsep serupa, namun dengan penekanan khas: enggang sebagai pusat perhatian.
Fungsi dan Manfaat
Aviary Enggang bisa dirancang dengan beberapa fungsi utama.
1. Konservasi
Aviary dapat berfungsi sebagai pusat rehabilitasi bagi burung enggang hasil sitaan dari perdagangan ilegal atau yang diserahkan masyarakat. Burung yang sehat bisa ditangkarkan, dan jika memungkinkan dilepasliarkan kembali ke habitatnya.
2. Edukasi
Generasi muda Tarakan perlu mengenal satwa khas daerahnya. Aviary bisa menjadi laboratorium alam untuk sekolah, universitas, dan komunitas pecinta burung. Dengan fasilitas ruang pameran, pusat informasi, hingga program tur edukatif, masyarakat akan lebih mudah memahami pentingnya menjaga satwa liar.
3. Wisata
Aviary juga berpotensi besar sebagai destinasi wisata baru. Dengan desain yang menarik—misalnya jalur skywalk atau jembatan kayu tinggi—pengunjung bisa melihat langsung enggang yang beterbangan. Penataan yang alami dengan pepohonan rindang, kolam, dan taman tematik akan memberi pengalaman berbeda dibandingkan wisata konvensional.
4. Ekonomi Lokal
Kehadiran aviary akan membuka peluang usaha baru: dari pemandu wisata, penjual suvenir khas enggang, hingga kuliner lokal. Dampak ekonominya bisa mengalir ke masyarakat sekitar.
Plus-Minus yang Perlu Dipertimbangkan
Tentu saja, ide ini tidak lepas dari tantangan. Dari sisi positif, Tarakan memiliki rekam jejak dalam mengelola konservasi satwa (KKMB) dan reputasi sebagai kota bersih yang pernah meraih Adipura berkali-kali. Hal ini bisa menjadi modal sosial dan institusional. Selain itu, aviary bisa menambah daya tarik Tarakan di mata wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Namun, ada pula tantangan yang harus diantisipasi. Pertama, legalitas satwa. Semua koleksi enggang harus berasal dari jalur resmi melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) atau program penyelamatan satwa, bukan dari perdagangan liar. Kedua, biaya operasional. Merawat enggang bukan perkara murah; perlu habitat luas, makanan khusus berupa buah-buahan tertentu, dan tenaga ahli. Oleh karena itu, pembiayaan harus cermat, bisa melalui APBD, dukungan CSR perusahaan, maupun skema public-private partnership.
Selain itu, ada risiko jika aviary hanya dipandang sebagai proyek wisata tanpa memperhatikan sisi konservasi. Padahal, nilai tambah sesungguhnya ada pada fungsi edukasi dan pelestarian. Karena itu, narasi yang diusung harus jelas: Aviary Enggang adalah pusat konservasi, bukan sekadar kebun binatang mini.
Menuju Tarakan Kota Konservasi
Jika ide ini dapat diwujudkan, Tarakan akan memiliki “dua ikon emas”: bekantan di kawasan mangrove, dan enggang di aviary. Keduanya akan melengkapi citra Tarakan sebagai kota yang peduli pada lingkungan, satwa endemik, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks geopolitik, posisi Tarakan sebagai Gerbang Utara Indonesia juga akan semakin kuat. Kota ini bisa tampil bukan hanya sebagai pusat jasa dan perdagangan, tetapi juga sebagai teladan pengelolaan konservasi satwa di perkotaan.
Mimpi ini tentu tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah daerah, BKSDA, KLHK, dunia usaha, komunitas pecinta lingkungan, dan masyarakat luas. Jika ada kemauan politik yang kuat, dukungan anggaran yang cukup, serta keterlibatan publik, bukan mustahil dalam beberapa tahun ke depan Tarakan bisa memiliki Aviary Enggang yang membanggakan.
Sebagaimana bekantan yang kini menjadi wajah kota Tarakan, kelak enggang bisa terbang kembali bukan hanya di alam bebas, tetapi juga dalam kesadaran kolektif kita sebagai simbol cinta, kelestarian, dan kebanggaan atas Bumi Paguntaka.
Oleh: Subono Samsudi
Profil Penulis
Subono Samsudi, lulusan Teknik Geologi ITB dan Magister Studi Pembangunan ITB. Pernah berkarier di Departemen Pertambangan dan Energi, Kementerian Lingkungan Hidup, serta lebih dari dua dekade di Kota Tarakan sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perindagkop UMKM, Dinas Kesehatan , dan Staf Ahli Walikota. Saat ini menjabat sebagai Ketua Komunitas Mantap Indonesia, Tarakan.













Discussion about this post