Kalimantan Utara (Kaltara) beruntung punya wakil rakyat bernama Deddy Sitorus. Kendati terbilang baru di Senayan, politisi PDI Perjuangan ini begitu gesit memperjuangkan kebutuhan masyarakat Kaltara.
Salah satunya adalah Kecamatan Bunyu, Kabupaten Bulungan. Sebenarnya, bila dilihat dari jumlah penduduk sebanyak 9.000 jiwa lebih dan DPT 6.000 orang, Bunyu bukanlah gadis seksi untuk seorang politisi. Suara yang dikejar di pulau ini tidak signifikan. Belum lagi lokasinya lumayan jauh. Satu jam dari Tarakan. Dua jam dari Tanjung Selor. Akses kesana cuma bisa ditempuh melalui jalur laut. Costnya tinggi.
Bahkan, di Pemilu lalu, Deddy Sitorus hanya dicoblos sekitar 300 orang saja. Apakah Deddy dendam terhadap Bunyu? Atau dia kecewa? Ternyata tidak. Dimata Deddy, Bunyu tetap spesial. Keluhan warga Bunyu terus terngiang-ngiang di telinganya. Keluhan itu disampaikan saat kampanye.

“Pak kami disini butuh pelabuhan sama rumah sakit,” kata seorang warga kala itu.



Deddy pun berjanji akan memperjuangkannya jika terpilih kelak. Bunyu memang unik. Letaknya cukup strategis. Pulau ini ditengah. Antara Tarakan dan Nunukan. Bunyu juga kaya mineral. Ada minyak, gas dan batu bara. Perusahaan yang bercokol di Bunyu pun bukan kaleng-kaleng. Salah satunya Pertamina. Sejak puluhan tahun lalu, Pertamina sudah mengeksploitasi Bunyu. Entah, sudah berapa triliun dolar yang dihasilkan perut Bunyu untuk bangsa ini.
Tapi ironi, infrastruktur Bunyu masih jauh tertinggal. Pulau ini betul-betul sekelas kecamatan. Cobalah Anda ke Bunyu, rasakan jalanannya. Kecil dan berlobang. Itu baru jalan. Fasilitas umumnya pun belum ada. Pelayanan kesehatan baru sekelas Puskesmas. Begitu juga Pelabuhan masih menumpang milik pertamina.

Pemilu usai. Deddy Sitorus meraih suara terbanyak di Kaltara dan mengantarkannya ke Senayan. Pekerjaan pertama usai dilantik, Deddy langsung meloby Direktur Utama dan Direktur Asset Pertamina serta Deputy SKK Migas sekitar Juni 2019.
Yang dibahas tentu saja Pelabuhan Bunyu. Pulau yang hanya menyumbangkan 300 suara untuknya itu. Deddy memohon, Pertamina rela melepaskan secuil tanahnya untuk dibangun Pelabuhan.
Tidak sampai disitu, medio Febuari 2020, politisi PDI Perjuangan itu datang menemui Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Dia menemui Menhub tidak tangan kosong. Tapi, membawa setumpuk dokumen dan proposal. Termasuk pembangunan Bandara Binuang.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba, pandemi Covid-19 melanda dunia. Termasuk Indonesia. Jakarta mulai merubah arah politik anggarannya. Sejumlah proyek infrastruktur ditunda. Bahkan tidak sedikit yang dicoret. APBN difokuskan menanggulangi Covid-19.
“Dua hari setelah saya saya ketemu Menhub, ternyata beliau positif. Boro-boro mikir pelabuhan. Hari itu saya jadi panik. Takut positif juga,” kata Deddy sambil terkekeh mengenang perjuangannya.
Ibarat main sepakbola. Bola yang sudah di depan gawang tinggal di tendang saja, harus kembali ke lapangan sendiri. Yah, atas nama penanggulangan Covid-19, rencana pembangunan Pelabuhan Bunyu terpaksa ditunda. Entah sampai kapan. Semua gelap. Tidak ada yang mampu memprediksi kapan pandemi akan berakhir.
Nasib pelabuhan Bunyu tidak sebaik “saudaranya” Bandara Perintis Binuang. Deddy berhasil meyakinkan Menhub bahwa Bandara ini sangat penting karena letaknya di perbatasan.
“Pelabuhan gagal. Tapi Binuang di setujui. Gak papalah, dari pada lari kosong,” ungkap Deddy.
Hampir satu tahun usulan pembangunan Pelabuhan Bunyu ini mengendap gara-gara Covid-19. Tapi di tengah kevakuman itu, koordinasi dan penyiapan dokumen terus dilakukan. Terutama oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) kelas 3 Kementerian Perhubungan di motori Abdul Wahid. UPP menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Termasuk koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Kaltara.
Sementara di Jakarta, Deddy Sitorus intens melakukan pendekatan dengan direksi Pertamina terkait aset.
Bagaikan hujan di tengah kemarau, Maret 2021 akhirnya Pertamina dengan izin SKK Migas menyetujui pengalihan lahan WK Pertamina. Lahan itu diserahkan kepada Kementerian Perhubungan melalui UPP Bunyu.
Surat izin SKK Migas inilah kuncinya. Bisa dikatakan, inilah surat sakti itu. Surat yang mengubah rencana pembangunan Pelabuhan Bunyu dari gelap menjadi terang benderang. Adrenaline Deddy muncul lagi. Dia bawa surat sakti itu ke Menhub sekitar bulan Mei 2021.
“Saya menghadap Menhub. Pak menteri ini surat pengalihan aset Pertamina. Tolong, Pelabuhan Bunyu diusulkan lagi,” cerita Deddy.
Menhub pun luluh. Mungkin ada rasa kasihan melihat perjuangan Deddy Sitorus. Tak tega rasanya menolak permintaan Deddy. Sebab, Ia sedang memperjuangkan dapilnya. Mewujudkan mimpin warga Bunyu untuk memiliki pelabuhan sendiri.
“Usulan ini akan saya pelajari. Percayalah kami juga akan berjuang mewujudkan mimpi mereka (warga Bunyu),” kata Deddy menirukan ucapan Menhub.
Tiba-tiba masalah baru muncul. Bahkan lebih dahsyat lagi. Ini terkait penganggaran. Tidak mungkin membiayai pembangunan Pelabuhan Bunyu menggunakan APBN. Sebab pembahasan APBN sudah selesai.
Kedua pejabat penting ini putar otak. Namun tetap fokus. Mereka berdua yakin, pasti ada jalan keluar setiap niat baik. Mau tahu jalan keluarnya? Yah dengan menemui Said Abdullah. Siapa Said Abdullah? Dia adalah Ketua Panitia Anggaran (Panggar) DPR RI. Tokoh kunci penentu APBN.
Budi Karya meminta Deddy memfasilitasi bertemu dengan Ketua Panggar itu. Meminta persetujuan untuk menggunakan skema pembiayaan Pelabuhan Bunyu melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Tinggal ini cara satu-satunya membiayai pembangunan Pelabuhan Bunyu diluar APBN.
Untung saja, skema pembiayaan melalui SBSN ini disetujui Said Abdullah.
Plong. Itu lah yang dirasakan Deddy Sitorus. Ia tidak terbebani lagi dengan janji politik. Begitu juga Menhub. Pasti lega. Gara-gara Deddy yang ngotot, kerjanya sedikit ringan. Negara akhirnya bisa membangun pelabuhan sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Makanya wajar. Mata Deddy berkaca-kaca saat tiang pancang pembangunan Pelabuhan Bunyu, menembus bibir pantai. Pancang itu sebagai saksi bisu sebuah perjuangan dan komitmen. Janji politik tak hanya sebagai alat mempengaruhi pemilih. Toh, janji itu hanya mampu meraih 300 suara saja.
Tapi sejujurnya, 300 orang itulah yang berjasa merubah nasib Bunyu. Kini selain Pelabuhan, Bunyu juga punya Rumah Sakit Umum Daerah Pratama. Semuanya berawal dari janji. Janji yang diperjuangkan tak sekadar pemanis bibir.
Rasanya Pelabuhan ini layak dinamai Budi Sitorus. Hasil duet maut Budi Karya Sumadi dan Deddy Sitorus.(Pai)