TANJUNG SELOR – Kesabaran warga sepanjang Sungai Malinau, benar-benar habis. Mereka sudah lelah menghadapi perusahaan tambang batubara.
Senin (18/7/22) warga yang tergabung dalam Tim Peduli Wilayah Masyarakat Adat Sesungai Malinau dan sekitarnya mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Utara (Kaltara).
Sejumlah keluhan diantaranya dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan salah satu perusahaan batubara yang beroperasi di Malinau Selatan.

Selain itu, warga dari 4 Kecamatan yakni Malinau Selatan Malinau Hulu, Hilir dan Malinau Induk itu mengeluh soal kerusakan jalan yang diakibatkan aktifitas kendaraan pengangkut batubara. Selama ini truk milik perusahaan menggunakan jalan milik Pemerintah.



Ketua tim, Elisa Lungu mengungkapkan kondisi itu berdampak pada 24 Desa yang terkena pencemaran lingkungan dan jalan rusak.
“Kondisi sungai airnya sangat keruh akibat limbah tambang batubara. Kami mempertanyakan pengelolaan limbah dan pencemaran sungai. Ekosistem di sungai itu sudah rusak. Kami punya bukti pencemaran itu,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya mempertanyakan status jalan yang digunakan oleh perusahaan batubara sebagai jalan aktifias penambangan atau haulding batubara.
“Setiap hari kami makan debu, kami juga mempertanyakan status jalan itu apakah milik pemerintah atau swasta (perusahaan),” ujarnya.
Sementara itu tokoh masyarakat lainnya, Firi menambahkan, selain menyampaikan keluhan warga pihaknya meminta stakeholder Pemprov bersama DPRD Kaltara turun meninjau kondisi lapangan.
“Kami mengadu ke DPRD Kaltara ini karena tidak ada keseriusan penanganan limbah dari Kabupaten Malinau, kasus ini sudah lama kami adukan ke Pemkab dan DPRD Malinau namun tidak digubris,” ujarnya
Ditegaskannya, pihak perusahaan batubara yang beroperasi di Malinau Selatan saat itu mengaku akan menyanggupi denda adat yang telah disepakati bersama pada 2021 lalu.
“Terkait persoalan jalan kami juga sudah jenuh, apalagi sudah pernah diusulkan perbaikannya di setiap musrenbang Kabupaten,” jelasnya.
Ia menambahkan, keluhan jalan sepanjang 80 kilometer yakni Simpang Sesua-Tanjung Nanga.
“Sudah 20 tahun soal jalan ini, kami heran kenapa jalan ini tidak mendapat perhatian pemerintah. Artinya ini jalan pemerintah atau swasta,” ujarnya.
Sementara itu, anggota DPRD Kaltara, Fenry menegaskan, pihaknya belum mendapatkan kepastian atau jawaban dari Pemprov Kaltara melalui Dinas PUPR Kaltara.
“Untuk itu kita (DPRD) putuskan akan turun ke lokasi meninjau kondisi sebenarnya. Kalau status jalan itu milik pemerintah, wajib memperbaikinya,” tegasnya.
Ditegaskannya wakil rakyat daerah pemilihan (Dapil) Malinau ini mengakui rusaknya jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
“Perlu diingat bahwa penyumbang PAD di Malinau itu yakni wilayah Malinau Selatan,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris DPUPR-Perkim Kaltara, Rahmat. W mengatakan, terkait status jalan itu, karena disana merupakan wilayah perbatasan, tentu harus dilihat dulu. Apakah itu menjadi tupoksinya Pemerintah Pusat, Provinsi atau Kabupaten.
“Itu yang akan kita lihat dulu. Jadi kita akan investigasi dulu ke lapangan sesuai yang dijadwalkan bersama DPRD. Jadi itu nanti kita tetapkan berdasarkan hasil investigasi dilapangan. Pastinya, dalam hal ini semua harus bersama-sama dalam membangun wilayah perbatasan,” pungkasnya.(Tjs/Adv)