Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu menjadi panggung besar bagi para pemimpin dunia untuk menunjukkan arah politik, strategi pembangunan, dan sikap negaranya terhadap isu-isu global. Pada 23 September 2025, perhatian publik tertuju pada dua tokoh yang berurutan menyampaikan pidato: Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Momen ini bukan hanya menarik karena perbedaan gaya retorika, melainkan karena keduanya membawa paradigma yang nyaris bertolak belakang mengenai isu perubahan iklim. Trump tampil dengan nada skeptis, menolak narasi arus utama bahwa manusia adalah penyebab utama pemanasan global. Sebaliknya, Prabowo dengan tegas mengakui krisis iklim sebagai ancaman nyata dan menempatkan Indonesia di garda depan upaya global menghadapi tantangan ini.
Perbedaan ini mencerminkan bukan hanya politik, tetapi juga dasar teori ilmiah yang berbeda. Untuk memahami keduanya, kita perlu meninjau kembali dua landasan ilmiah: geologi dan klimatologi modern.
Paradigma Trump: Iklim Selalu Berubah Secara Alami
Trump memandang perubahan iklim sebagai fenomena yang dilebih-lebihkan. Dalam beberapa pidato, ia kerap menyebut krisis iklim sebagai “hoaks” atau “penipuan besar”. Di PBB, ia kembali menekankan bahwa setiap bangsa harus bebas menentukan kebijakan energi tanpa terikat aturan internasional yang dianggap membatasi pertumbuhan ekonomi.
Dasar ilmiah yang mendukung pandangan ini ada pada rekam jejak geologis bumi. Dalam 2,6 juta tahun terakhir, bumi mengalami siklus glasial–interglasial yang diatur oleh siklus orbit bumi atau siklus Milankovitch. Perubahan kecil pada orbit dan kemiringan sumbu bumi memengaruhi distribusi energi matahari, sehingga memicu periode zaman es dan periode hangat.
Rekaman inti es di Antartika menunjukkan bahwa suhu bumi memang naik-turun secara alami. Konsentrasi CO₂ pun mengikuti siklus ini. Dari perspektif ini, argumen Trump punya dasar ilmiah: bumi memang selalu berubah, iklim bukanlah sesuatu yang statis, dan manusia hanyalah penumpang dalam kapal besar geologi.
Namun, permasalahannya bukan pada apakah iklim berubah secara alami, melainkan apakah perubahan yang kita lihat sekarang sesuai pola alami atau justru anomali.
Paradigma Prabowo: Ulah Manusia Mempercepat Krisis
Berbeda dengan Trump, Prabowo menegaskan bahwa krisis iklim adalah nyata dan menuntut tanggung jawab kolektif. Dalam pidatonya di PBB, ia menyinggung keadilan iklim (climate justice): negara berkembang yang kontribusi emisinya relatif kecil justru paling menderita akibat bencana iklim.
Landasan ilmiah yang ia gunakan adalah teori efek rumah kaca. Gas-gas seperti CO₂, CH₄, dan N₂O menyerap radiasi panas dari bumi, lalu memantulkannya kembali ke permukaan. Efek ini alami, tetapi sejak Revolusi Industri manusia telah memperkuatnya secara drastis.
Fakta ilmiah mendukung ini:
Konsentrasi CO₂ pra-industri sekitar 280 ppm.
Kini (2025), CO₂ mencapai lebih dari 420 ppm.
Kenaikan 40% ini terjadi hanya dalam dua abad—terlalu cepat untuk dijelaskan oleh siklus Milankovitch.
IPCC menyatakan lebih dari 97% ilmuwan sepakat bahwa pemanasan global modern terutama disebabkan aktivitas manusia. Inilah dasar ilmiah yang meneguhkan sikap Prabowo.
Dua Ilmu yang Sama-Sama Benar, tapi untuk Skala Waktu Berbeda
Menariknya, baik Trump maupun Prabowo sama-sama punya pijakan ilmiah. Yang membedakan adalah skala waktu dan relevansi konteks.
Teori geologis (glasial–interglasial) → benar adanya bahwa iklim bumi selalu berubah. Namun, siklus ini bekerja dalam skala ribuan hingga ratusan ribu tahun.
Teori efek rumah kaca antropogenik → juga benar, dan relevan untuk menjelaskan perubahan cepat dalam hitungan abad terakhir.
Perumpamaannya begini: bumi memang punya “detak alami” iklimnya, seperti denyut jantung yang naik-turun secara teratur. Tapi saat ini denyut itu melonjak tak terkendali, bukan karena siklus alami, melainkan karena kita menyuntikkan kafein dan adrenalin berlebihan ke tubuh planet ini.
Dengan kata lain, Trump tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak lengkap. Sedangkan Prabowo lebih sejalan dengan konsensus ilmiah yang relevan dengan kondisi saat ini.
Ekonomi Politik di Balik Ilmu
Tidak bisa dipungkiri, pilihan paradigma juga dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi politik.
Trump → basis dukungan politiknya banyak dari industri minyak dan batu bara. Pandangannya mencerminkan market fundamentalism: pertumbuhan ekonomi nasional lebih utama, kerja sama global dianggap beban.
Prabowo → berada di posisi negara berkembang dengan hutan tropis luas. Ia menekankan sustainable development dan climate justice, menuntut agar negara maju mengambil porsi tanggung jawab lebih besar.
Paradigma ilmiah di sini bukan sekadar “sains murni”, melainkan instrumen yang dipilih sesuai kepentingan nasional.
Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pidato Prabowo setelah Trump memberi peluang strategis. Setelah dunia mendengar sikap skeptis Trump, muncul suara berbeda dari Indonesia yang menegaskan komitmen terhadap sains dan keadilan iklim.
Indonesia memang berada di garis depan risiko iklim:
Kenaikan muka laut mengancam kota-kota pesisir.
Intensitas hujan ekstrem dan kekeringan meningkat.
Produktivitas pertanian bisa terganggu.
Mengadopsi paradigma Trump berarti mengabaikan realitas yang sudah kita alami. Sebaliknya, mengadopsi paradigma Prabowo berarti mengakui sains sekaligus mencari jalan tengah agar transisi energi tidak membebani rakyat.
Menyatukan Dua Pandangan
Alih-alih melihat keduanya sebagai pertentangan mutlak, mungkin lebih bijak bila kita menyatukan pandangan ini:
Dari Trump → kita belajar bahwa perubahan iklim memang punya basis alami, sehingga perlu memahami dinamika jangka panjang bumi.
Dari Prabowo → kita belajar bahwa ulah manusia telah menambah beban baru di luar pola alami, sehingga perlu aksi kolektif global.
Menggabungkan keduanya akan memberi kita pemahaman lebih utuh: bumi memang berubah, tetapi kali ini manusialah yang menginjak pedal gas terlalu keras.
Penutup
Pidato berurutan antara Donald Trump dan Prabowo Subianto di PBB pada September 2025 menjadi panggung kontras dua paradigma iklim dunia. Trump berdiri di atas teori geologis tentang perubahan iklim alami, sementara Prabowo berpijak pada konsensus ilmiah tentang efek rumah kaca akibat ulah manusia.
Keduanya sama-sama punya dasar ilmiah, tetapi perbedaannya ada pada skala waktu dan relevansi. Trump berbicara untuk siklus ribuan tahun, Prabowo untuk abad ini.
Bagi umat manusia, yang lebih mendesak adalah menjawab krisis iklim hari ini. Dan untuk itu, paradigma Prabowo lebih tepat: mengakui sains, memperjuangkan keadilan iklim, dan mencari solusi berkelanjutan.
Karena pada akhirnya, iklim bukan sekadar debat politik. Ia adalah kenyataan yang akan menentukan masa depan peradaban kita. Allahu A’lam.
Oleh : Subono Samsudi, Pemerhati Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Discussion about this post