TARAKAN, Fokusborneo.com – Julukan “Kota 1000 Kafe” untuk Tarakan membawa konsekuensi lingkungan yang patut diwaspadai.
Ribuan tempat usaha penyedia minuman, mulai dari kafe modern, kedai menengah, hingga gerobak, dinilai sebagian besar masih mengandalkan kemasan plastik sekali pakai, bahkan untuk pelanggan yang menikmati minuman di tempat.
Kondisi ini menjadi perhatian serius dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tarakan.
Kepala DLH Tarakan, Andry Rawung, menyatakan upaya pemerintah untuk mengurangi volume sampah plastik dari masyarakat telah memakan waktu dan memberikan dampak besar pada lingkungan.
Ia mengakui maraknya usaha minuman, seperti kafe dan sejenisnya, berpotensi besar menyumbang pada peningkatan produksi sampah di kota ini.
”Kami masih memantau, sejauh mana kontribusi sajian minuman dari kafe, boot gerobak, dan kedai menyumbang sampah plastik. Kami mengimbau agar pelaku usaha tidak menyajikan wadah plastik saat minuman dikonsumsi di tempat,” jelas Andry Rawung, Selasa (21/10/25).
Rawung menambahkan, untuk layanan take away atau bawa pulang, penggunaan kemasan memang lebih sulit dihindari. Namun, ia menekankan agar saat minum di tempat, kafe sebaiknya beralih ke wadah yang dapat digunakan berulang (gelas), untuk mengurangi sampah sekali pakai.
“Kalau take away kita mengerti agak sulit, walau kini ada opsi kemasan dari kertas tebal atau foam. Tetapi paling tidak, saat minum di tempat sebaiknya menggunakan gelas,” tambahnya.
Menurut Rawung, daya tarik kepraktisan menjadi alasan mengapa banyak kafe memilih menggunakan kemasan plastik.
“Saya paham mungkin orang senang yang praktis. Beli cup dengan harga murah, lalu tidak perlu mencuci wadah lagi. Tidak sedikit kafe menyajikan menggunakan cup meski dipesan untuk diminum di tempat, terutama untuk minuman dingin seperti es kopi, matcha, dan sejenisnya,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan sampah plastik memerlukan waktu sangat lama untuk terurai, dan tidak semua jenisnya dapat didaur ulang.
Meskipun secara proporsional sampah plastik masih menempati urutan kedua setelah sampah organik di Tarakan (dengan produksi sampah organik berkisar 47-55%), Rawung menegaskan bahwa tidak adanya penguraian membuat plastik mendominasi di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) jika tidak didaur ulang.
”Ketika 2-3 bulan sampah organiknya ini terurai, sementara sampah plastik tidak. Jika tidak didaur ulang, maka sampah plastik ini yang akan mendominasi di TPA, meskipun secara persentase produksinya lebih kecil,” tegasnya.
Pemerintah Tarakan tidak akan mengendurkan upaya penekanan terhadap sampah plastik. Upaya ini tidak hanya fokus pada pengurangan penggunaan, tetapi juga didukung dengan peningkatan aktivitas daur ulang dan sosialisasi pentingnya penggunaan wadah yang bisa dipakai berulang-ulang.
“Penanganan sampah secara menyeluruh tidak bisa terlepas dari pengurangan dan penanganan,” pungkasnya.(**)
Discussion about this post