TARAKAN – Wetlands Internasional Indonesia atau biasa disebut Yayasan Lahan Basah kenalkan program to plant or not to plant (menaman atau tidak menaman) mangrove kepada stakeholder di wilayah Kalimantan Utara (Kaltara).
Technical Officer Rehabilitation Wetlands Internasional Indonesia, Aji Nuralam Dwisutono menjelaskan program ini sudah berjalan lebih dari satu tahun dan ada dua hal yang diprogramkan yakni merehabilitasi mangrove dalam kontek kebijakan dan permasalahan teknis, kemudian kedua mengenalkan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan ekologis.



“Jadi pada intinya kita ingin memperkenalkan bahwa rehabilitasi mangrove itu sebenarnya tanpa perlu menanam, bisa juga mendapatkan atau memperoleh rehabilitasi mangrove dari proses regenerasi alami,” jelasnya kepada media, Senin (4/12/2023).




Tidak hanya teori, namun saat ini pihaknya mencoba memperkenalkan proses tersebut melalui demplot di Desa Liagu, Kecamatan Sekatak.




“Setelah membuat demplot tersebut kami ingin mencoba memperkenalkan secara luas melalui workshop. Kami sudah melaksanakan workshop namanya Menanam atau Tidak Menanam dalam pemulihan ekosistem mangrove menggunakan pendekatan ekologis,” ungkapnya.
Melalui workshop ini, Wetlands mencoba mengajak seluruh stakeholder yang ada di Provinsi Kaltara, kemudian pegiat reboisasi mangrove dari Dinas Kehutanan, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, NGO di Kaktara, GIZ, serta yayasan Konservasi Alam Mangrove.

Lebih lanjut, Aji Nuralam mengatakan saat ini pihaknya juga telah melaksanakan pelatihan untuk pegawai di KPH Tarakan, dimana KPH Tarakan sendiri merupakan mitra dalam program to plant or not plant dalam pembuatan demplot.
“Dan ternyata mereka tertarik untuk melakukan pelatihan untuk teman teman staf yang lain supaya teman – teman yang lain bisa mendapatkan informasi yang sama. Hari ini kami mengadakan pelatihan mengenai restorasi mangrove menggunakan ekologis dari Wetlands. Kami mencoba mengenalkan apa sih ekosistem mangrove dan apa tantangannya, kami juga mengenalkan kenapa kegiatan rehabilitasi mangrove menggunakan pendekatan penanaman itu kadang kadang sering mengalami kegagalan walaupun sebenarnya penanaman juga banyak yang berhasil,” jelasnya.
Kegagalan bukan karena metode penanaman itu sendiri tetapi salah satu hal yang memberikan kegagalan adalah penanaman yang dilakukan di lokasi yang tidak sesuai dengan tumbuhnya mangrove, makanya Wetlands memperkenalkan mangrove hanya bisa tumbuh di lokasi yang dipengaruhi pasang surut air laut, kondisi lumpur, dan lain sebagainya
“Kenapa memilih mangrove untuk reboisasi, karena lembaga kami memiliki 3 fokus utama salah satu fokus utama kami adalah ekosistem lahan basah, makanya kami menyebutnya Wetlands International Indonesia. Ekosistem lahan basah itu terdiri dari 3 yang pertama kami berfokus pada ekosistem lahan gambut lalu kami berfokus pada ekosistem sungai dan danau lalu yang ketiga berfokus kepada ekosistem mangrove,” bebernya.
Aji mengatakan bahwa ancaman terhadap mangrove ini sudah sangat besar dan banyak, ada deforestasi merubah mangrove di dalam bentuk ekosistem lainnya, lalu ada juga proses pembalakan liar di hutan mangrove dan sudah dirasakan banyak pihak.
“Sebenarnya reboisasi mangrove sudah banyak dilakukan dari jaman dulu, saat ini sudah mengalami perhatian yang sungguh besar, pemerintah melalui inisiatifnya dia ada target sebesar 600 ribu ha dalam merehabilitasi mangrove dan kami mencoba mendukung hal tersebut, dan salah satu bentuk dukungannya adalah program kami to plant or not to plant,” imbuhnya.
Lalu bentuk dukungan kedua lainnya adalah Wetlands ingin mengenalkan reboisasi mangrove tidak harus melakukan penanaman, jadi kadang – kadang ada kondisi mangrove kalau dibiarkan tumbuh sendiri tanpa melakukan penanaman. (ris/Iik)