TANJUNG SELOR, Fokusborneo.com – Polemik anggaran Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kalimantan Utara yang dinilai terlalu gemuk oleh Lembaga Investigasi Negara (LIN) Kaltara akhirnya mendapat klarifikasi dari Komisi Informasi (KI) Kaltara.
Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari, S.Pd., C.Med., Sp.A.P., menegaskan tudingan yang berkembang merupakan informasi hoaks karena tidak sesuai dengan data resmi yang sah.
“Sejauh ini BKAD Kaltara selalu tertib memberikan laporan tahunannya ke KI Kaltara, jadi KI juga mengantongi data pengalokasian atau peruntukan data keuangan BKAD,” ungkap Fajar saat dikonfirmasi, Kamis (2/10/2025).
Fajar menjelaskan, angka-angka yang disebutkan Ketua LIN Kaltara, Aslin Lubis, hanya bersumber dari dokumen rancangan, yakni Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub) tentang APBD.
Dokumen tersebut, katanya, bukan dokumen final melainkan masih berupa usulan yang sedang dibahas dan disempurnakan antara pemerintah daerah dengan DPRD.
“Ini sifatnya bukan dokumen final, apalagi belum ditandatangani. Itu dokumen sebelum efisiensi, hanya usulan APBD yang masih dalam proses pembahasan dan penyempurnaan sebelum disahkan menjadi Perda. Jadi saya pastikan informasi itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan, bahkan setelah efisiensi, angka-angka dalam Raperda bisa mengalami pergeseran signifikan. Karena itu, penggunaan dokumen lama yang belum sah dan tidak memiliki tanda tangan pejabat berwenang, jelas menyesatkan publik.
“Bahan yang dipakai Pak Aslin untuk mengkritisi BKAD itu dokumen saat masih pembahasan dan belum disetujui pihak berwenang. Padahal dokumen sah pasca efisiensi sangat berbeda jauh. Karena tidak ada tanda tangan, otomatis tidak sah untuk disebarluaskan,” jelasnya.
Fajar menegaskan, jika benar Aslin mengantongi Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), hal itu justru menimbulkan pertanyaan serius terkait prosedur perolehannya. Sebab, DPA adalah dokumen negara yang meskipun pada dasarnya terbuka untuk publik, tetap memiliki batasan dan harus diperoleh dengan mekanisme resmi.
“Seandainya pun Pak Aslin mengantongi DPA, pertanyaannya dari mana memperolehnya? Karena prosedurnya harus bersurat resmi ke badan publik terkait. Tidak bisa tiba-tiba mengantongi data itu,” ucapnya.
Menurutnya, meskipun Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan DPA merupakan informasi publik, tetap ada rambu-rambu yang melindungi data tertentu. Informasi yang terkandung di dalamnya dapat dikecualikan apabila memuat rahasia negara, data pribadi, atau rahasia bisnis.
Pengecualian tersebut, kata Fajar, hanya dapat ditetapkan setelah melalui uji konsekuensi oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
“DPA itu memang informasi publik, tapi bagian-bagian tertentu bisa dikecualikan. Harus melalui uji konsekuensi oleh PPID. Jadi tidak bisa sembarangan dipublikasikan atau digunakan tanpa prosedur,” jelasnya lagi.
Lebih lanjut ia menguraikan, pengecualian informasi dalam dokumen negara terbagi dua, yakni pengecualian substantif dan prosedural. Pengecualian substantif berlaku untuk informasi yang secara hukum bersifat rahasia, seperti data pertahanan negara, informasi pribadi, atau rahasia bisnis.
Sementara pengecualian prosedural berlaku pada informasi yang pada dasarnya terbuka, namun tata cara pemberiannya diatur secara khusus, misalnya data keuangan yang harus melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Artinya, meskipun DPA terbuka, ada bagian yang tidak boleh sembarangan diumbar, apalagi sebelum melalui prosedur resmi,” terang Fajar.
Ia juga menyoroti peran media dalam menyampaikan informasi ke masyarakat. Menurutnya, media seharusnya lebih cermat dengan hanya menggunakan dokumen resmi yang sah, disertai tanda tangan pejabat berwenang, agar publik tidak tersesat oleh data yang tidak valid.
“Mestinya pihak media melampirkan data yang sudah bertandatangan untuk mengonfirmasi pembaca bahwa dokumen itu sah. Wartawan harus profesional dengan memastikan pemberitaan bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Fajar menutup dengan mengingatkan semua pihak agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi, baik di ruang publik maupun media massa.
“Logikanya, data yang diberitakan itu jelas tidak ditandatangani. Jadi baik media maupun narasumber harus memahami etika jurnalistik dan etika menyampaikan pendapat di muka umum,” pungkasnya. (*)
Discussion about this post