TARAKAN, Fokusborneo.com – Di tengah gemuruh kontribusi triliunan rupiah devisa negara dari Pekerja Migran Indonesia (PMI), muncul sorotan tajam terkait urgensi perlindungan hukum yang komprehensif.
Ironisnya, di saat PMI menjadi tulang punggung devisa mencapai angka Rp253,3 triliun pada 2024 dan ditargetkan melonjak hingga Rp439 triliun di 2025, permasalahan perlindungan justru masih didominasi penanganan pasca-masalah, seperti deportasi dan kasus penyiksaan.
Hal ini mengemuka dalam “Sosialisasi Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia” yang digelar di Universitas Terbuka (UT) Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), Sabtu (25/10/25).
Kegiatan yang merupakan kolaborasi Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kaltara dengan Kementerian/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ini, menegaskan negara harus memprioritaskan pencegahan dan perlindungan pra-keberangkatan.
Rektor Universitas Borneo Tarakan (UBT), Prof. Dr. Yahya Ahmad Zien dalam pemaparannya mengenai “Aspek Hukum Pekerja Migran Indonesia dan Problematikanya,” membuka kesadaran publik dengan analogi mendalam.
Ia menyamakan situasi PMI dengan kisah seorang tukang kayu yang terus bekerja lebih keras dan lebih lama, namun hasilnya sama, karena “tidak pernah mengasah kampaknya” yakni, tidak pernah memperbaiki alat atau sistem utamanya.
”Pekerjaan migrasi Indonesia adalah salah satu tulang punggung devisa negara. Kami punya data, tahun 2024, devisa dari pekerja kita mencapai Rp251 triliun dan target di 2025 naik menjadi Rp439 triliun. Artinya, devisa ini luar biasa besar,” tegas Prof. Yahya.
Namun, di balik angka fantastis tersebut, sejumlah problematika serius terus tumbuh diantaranya maraknya PMI ilegal/non-prosedural dan korban penipuan peluang kerja.Kekerasan dan gaji tidak dibayar yang masih menjadi kasus harian.
Belum lagi modus perdagangan orang yang bahkan melibatkan ancaman pidana kepada keluarga agar calon PMI tetap berangkat. Terakhir fenomena deportasi yang kini tak hanya menimpa pria dan wanita, tetapi juga anak-anak.
Prof. Yahya menekankan sesuai Undang-Undang, fokusnya adalah “Perlindungan Pekerja Migran Indonesia,” bukan pelarangan kerja. Artinya, negara menyadari migrasi akan terus didorong.
“Oleh karena itu, negara harus fokus pada perlindungan menyeluruh,” tegasnya.
Melihat tingginya target devisa dan risiko yang dihadapi PMI, langkah perbaikan paling fundamental menurutnya harus dimulai dari hulu, yaitu tahap pencegahan sebelum keberangkatan.
“Selama ini mungkin kita hanya fokus pada yang sudah ada, ada masalah dipulangkan, deportasi, yang sedang bekerja itu berbagai macam masalah. Tapi pernahkah kita menyentuh persoalan pencegahan? Siapa yang bisa menjamin safety mereka kerja di sana?” ujar Prof. Yahya.
Diakhir penyampaiannya, Yahya menegaskan tanggung jawab negara untuk “Pahlawan Devisa” ini harus diwujudkan.
“Salah satunya, pemberian perlindungan menyeluruh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, mencakup pekerja, keluarga, serta sebelum, selama, dan setelah bekerja, sesuai amanat undang-undang,” pesannya.
Fokus lainnya pada pencegahan dan mampu mengatasi persoalan PMI yang akan berangkat, termasuk memutus rantai sindikat ilegal, meningkatkan keterampilan dari low skill ke high skill , serta menjamin pembiayaan dan perlindungan hukum sejak awal.
Terakhir mewujudkan kerja aman dan bermartabat dengan total devisa yang mencapai ratusan triliun, PMI layak mendapatkan jaminan penuh agar tidak lagi merasa seperti “main lotre” saat mencari pekerjaan di luar negeri.(Mt)














Discussion about this post