By : Syamsuddin Arfah
Sangat mencengangkan jika Ramadan itu datang, tiba-tiba semangat keberagamaan umat Islam tumbuh dan meningkat secara signifikan, kesadaran beribadah begitu tinggi dan pemandangan begitu berbeda, masjid-masjid dan mushalla serta tempat ibadah mendadak penuh dan ramai untuk dilaksanakan shalat berjama’ah, shalat subuh dihari biasa terasa kurang dan mungkin sepi tetapi  berbeda halnya dibulan Ramadan orang-orang begitu antusias memenuhi masjid, walaupun terkadang kantuk dilawan, bahkan disaat dingin dan hujan  tetap diterobos, sungguh menarik. Shalat tarawih menjadi membludak, dibeberapa masjid atau mushalla harus memasang serobong atau membuka tenda untuk menampung jama’ah shalat, suasana dan nuansa religius dan spiritual terasa sangatlah kental.
Malam hari diisi tadarusan menjelang shubuh terdengar sekelompok orang berkeliling kampung berteriak “sahuuur†untuk membangunkan mereka yang esok harinya berpuasa agar bisa sahur, Pemerintah pun mengeluarkan aturan agar tempat hiburan malam (THM)  ditutup selama bulan Ramadan, pemilik warung-warung makan menutup separuh atau membuat tirai dengan tujuan  yang masuk ke warungnya bagi yang tidak berpuasa supaya tidak terlihat, tujuannya menghormati bulan Ramadan.
Sayang pemandangan ini tidak bertahan lama, seakan menjadi tradisi yang hanya terlihat mungkin di sepuluh hari pertama dibulan Ramadan, perlahan tapi pasti semangat keberagamaan serta kesadaran beribadah yang pada awalnya terlihat naik dan meningkat “tidak bertahan lama† seiring dengan bertambahnya hari dibulan Ramadan, masjid-masjid yang mulanya begitu ramai membludak mulai terlihat longgar dan mulai agak lowong, padahal Rasulullah saw mencontohkan cara mensikapi Ramadan dengan mengencangkan ikat pinggangnya dan meningkatkan intensitas ibadahnya jika memasuki sepuluh hari terakhir dibulan Ramadan, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ia berkata : adalah Rasulullah saw, apabila masuk (tanggal) sepuluh, ya’ni sepuluh yang akhir dari Ramadan, ia kencangkan ikat pinggangnya ia hidupkan malamnya dan ia bangunkan keluarganya. (Bukhari – Muslim).
Sesungguhnya hadiah “takwa†yang diberikan kepada orang yang beriman dalam menjalankan ibadah puasa, bukan hanya semata-mata pada menjalankan ibadah puasa tetapi dia merupakan rangkaian dan kumpulan dari berbagai ibadah yang ada dibulan Ramadan yaitu seperti, shalat taraweh, menjaga shalat jama’ah di masjid, menunaikan shalat sunnah,  tilawah/tadarus al-Qur’an, dzikir, zakat/infaq dan shadaqah, memperbanyak melakukan kebaikan dan lain lain. Sesungguhnya esensi ibadah Ramadan bagi orang yang beriman terletak pada kesungguhan (jiddiyah), komitmen (itizam), konsisten (istiqamah), continue/keberlanjutan (istimrariyah). Jika hal itu tidak ada pada ibadah Ramadan maka kita akan kehilangan esensi, kehilangan kualitas, kehilangan isi dari ibadah yang di kerjakan. Jika ibadah kita kehilangan esensi, kualitas tidak tercapai dan sudah bisa dipastikan ibadah akan kehilangan isi, jika itu terjadi akan sulit  bagi kita untuk mencapai hadiah dari Allah berupa predikat “takwaâ€.
Ibadah Ramadan jangan dijadikan seremoni ritual belaka, atau hanya terjebak pada tradisi tahunan yang hanya ramai diawalnya saja, senang dengan ramai-ramai tanpa memahami ma’na yang terkandung di dalamnya, atau barangkali kita memang senang dengan sesuatu yang bersifat seremoni, lebih senang kuantitas (banyak dan ramai) daripada yang bersifat kualitas, lebih senang kulit daripada isi, lebih suka menilai dari sisi permukaannya , lebih suka memandang dari kulit luarnya saja, tentu akan banyak pertanyaan yang akan diajukan, tapi apalah artinya pertanyaan yang jadinya hanya rangkaian dari kata-kata jika kata itu tidak mengandung ma’na.
Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan oleh penulis, karena yang hanya  bersifat subtantif dan esensi saja yang bisa menjadikan perubahan dalam tatanan kehidupan, Prof. A. Syafii Maarif   memgungkapkan bahwa  berangkat dari nilai-nilai spiritual yang murni  yang bisa membuat transformasi sosial, penulis menerjemahkan bahwa jika ingin kehidupan sosial yang lebih relegius, kehidupan sosial yang dikendalikan dengan nilai-nilai “ilahi†maka kualitas ibadah harus dapat dicapai. Kenapa demikian karena internalisasi nilai-nilai ibadah kedalam jiwa yang berbasiskan iman dan takwa akan membentuk karakter yang kuat, dan karakter itu akan muncul terlihat jelas dalam perilaku serta gaya hidup kaum muslimin. Inilah esensi sesungguhnya yang didapatkan dalam ibadah Ramadan.
Dalam hal ini Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya†(Al-A’raf : 96). Ma’na berkah pada ayat ini menurut ahli tafsir adalah “bertambahnya kebaikan†diberikannnya kesejahteraan dan kemakmuran serta kepastian hukum sehingga manusia merasakan aman, nyaman dan, ending akhirnya adalah kesejahteraan dan kebahagiaan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an : “Sibghah Allah (celupan Allah) dan siapakah yang lebih baik sibghah-nya Allah (celupan Allah), dan kepada-Nya kami menyembahâ€. (QS Al-Baqarah : 138). Mendasarkan pada ayat ini internalisasi nilai-nilai ibadah yang menjadi karakter keperibadian yang bertranspormasi dari nila spiritual kepada sosial.
Allahu A’lamu bis-shawab Al-faqiir ilallah.
Kritikan atau Aksi Nyata
(Syamsuddin Arfah : Mahasiswa Pasca Sarjana UIKA)
Film ada apa dengan cinta 2 (AADC2), ketika tayang mendapatkan perhatian dari public, beberapa pekan tayang sudah mencapai 3,5 juta penonton, sungguh luar biasa film ini mendapatkan tempat dan hati ditengah masyarakat dan pemirsanya..
Ketika film ini lagi tayang di bioskop, cinema, XXI, salah seorang “da’I kondang†: mengkritik tentang alur film ini yang tidak islami, film ini diperankan oleh Cinta aktris cantik multi talenta (Dian Sastro) dan Rangga actor tampan idola remaja (Nicholas Saputra).
Kritikan dari Da’I kondang tentang alur film ini, dari Rangga dan Cinta yang bertemu, ngobrol, curhat dan berjalan sehari semalam tanpa mahram, Rangga dan Cinta yang beradegan ciuman serta, Rangga yang meminang cinta padahal dia sudah bertunangan..
Kritikan dari “da’I kondang†tentang alur film AADC2 yang tidak islami ini semuanya benar, apalagi dilihat dari perspektif syariat islam, saya (penulis) setuju tentang kritikan ini, tetapi kritikan itu hanya sebatas kritikan, sasaran film ini dari kalangan remaja serta ibu-ibu mudah ini sangat tidak berpengaruh, tetaplah penggemar film ini banyak, bukan hanya karena actor dan aktrisnya yang piawai dan kawakan dalam acting, serta rasa penasaran penonton terhadap kelanjutan film AADC1, tetapi marketing dan iklan yang luar biasa dan juga film ini menggunakana destinasi pariwisata yogya sebagai iconnya..
Kita tidak hanya harus bisa mengkritik, atau sebagai komentator ala pemirsa bola, tetapi bagaimana harus menciptakan film tandingan yang lebih “islami†tetapi mendapat tempat dihati masyarakat, tentu itu tidak mudah, juga tidak murah biayanya, apalagi sutradara memandangnya tidak komersil, tetapi mengubah itu semua adalah tantangan, dibutuhkan kreasi dan inovasi serta kesungguhan.
Saya ingin menggiring tema film AADC2 dengan tema ramadhan, Sangat mencengangkan jika Ramadan itu datang, tiba-tiba semangat keberagamaan umat Islam naik dan timbul secara meningkat, kesadaran akan beribadah begitu tinggi dan pemandangan begitu berbeda, masjid-masjid dan mushalla serta tempat ibadah mendadak penuh dan ramai untuk dilaksanakan shalat berjama’ah, shalat shubuh dihari biasa terasa kurang dan mungkin sepi tetapi berbeda dibulan Ramadan orang-orang datang memenuhi masjid, walaupun terkadang kantuk dilawan, bahkan disaat dingin dan hujan tetap diterobos, sungguh menarik.. shalat tarawih menjadi membludak, dibeberapa masjid atau mushalla harus memasang serobong atau membuka tenda untuk menampung jama’ah shalat, suasana dan nuangsa ruhiyah dan spiritual terasa kental.
Malam hari diisi tadarusan menjelang shubuh terdengar sekelompok orang berkeliling kampung berteriak “sahuuur†untuk membangungkan mereka yang esok harinya berpuasa agar bisa sahur, Pemerintah pun mengeluarkan aturan agar tempat hiburan malam (THM) ditutup selama bulan Ramadan, pemilik warung-warung makan menutup separuh atau membuat tirai dengan tujuan yang masuk ke warungnya bagi yang tidak berpuasa supaya tidak terlihat, ini untuk menghormati bulan Ramadan.
Sayang pemandangan ini tidak bertahan lama, seakan menjadi tradisi yang hanya terlihat mungkin di sepuluh hari pertama dibulan Ramadan, perlahan tapi pasti semangat keberagamaan serta kesadaran beribadah yang pada awalnya terlihat naik dan meningkat “tidak bertahan lamaâ€Â seiring dengan bertambahnya hari dibulan Ramadan, masjid-masjid yang mulanya begitu ramai membludak mulai terlihat longgar dan mulai agak lowong, padahal Rasulullah saw mencontohkan cara mensikapi Ramadan dengan mengencangkan ikat pinggangnya dan meningkatkan intensitas ibadahnya jika memasuki sepuluh hari terakhir dibulan Ramadan, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ia berkata : adalah Rasulullah saw, apabila masuk (tanggal) sepuluh, ya’ni sepuluh yang akhir dari Ramadan, ia kencangkan ikat pinggangnya ia hidupkan malamnya dan ia bangunkan keluarganya. (Bukhari – Muslim).
Saya juga membaca kritikan “Cendikiawan Muslim†pada artikelnya, yang menganggap cara beribadah umat islam khususnya pada bulan ramadhan, hanya terkesan seremoni, dan tidak menyentuh pada esensi dan substansi, para ustdz juga menyinggung tentang fenomena sepuluh hari pertama dibulan ramadhan ini dengan kritikan dan singgungan kepada umat islam ini pada kultum taraweh dan kuliah shubuh, tetapi yang berkesan buat saya ini adalah jangan sampai terjebak pada kritikan, singgungan serta komentar, tetapi dibutuhkan langkah yang lebih riil, agar kesadaran umat islam pada ramadhan ini, tidak hanya sesaat saja, terapi kesadaran ini perlu perlu dipertahankan yang bersifat permanen, dengan berbagai kegiatan, seperti kajian islam, seminar atau hal lain yang bersifat inovatif untk membangun kesadaran permanen dari umat islam.
Sama halnya ketika seseorang mengaku muslim, lalu memandang pada persoalan keislaman menggunakan pendapat dari tokoh-tokoh yang bukan islam untuk dijadikan pegangan, atau kalupun dia muslim, terkesan keâ€muslimanâ€nya itu liberal atau lebih terkesan pluralis, untuk berbagai aspek dan persoalan, baik itu ibadah, aqidah, muamalah dan lain-lain, padahal yang benar adaalah jika dia muslim tentu cara pandangnya berpegang pada Al-Qur’anul Karim atau Hadist Nabi, mungkin seseorang itu bangga terkesan toleran, pluralis (untuk diterima semua kalangan) padahal mungkin dia lupa bahwa dia seorang muslim yang cara pandangnya harus berdasarkan pada syariat (Islamic word view).
Tetapi apapun itu fenomena umat islam, disitu peran da’I untuk menyebarkan nilai islam agar sampai kehati dan jiwa umat islam..
Selamat berkreasi, selamat berinovasi dalam da’wah, jangan hanya semata mengandalkan kritik tanpa aksi yang nyata.
Allahu A’lamu bis-shawab.
                                
			
                                
                                
                                
                                
                                
                                









Discussion about this post