Saat pertama kali saya tiba di Tarakan pada September 2000, Pantai Amal adalah salah satu lokasi rekreasi utama warga. Namun kondisinya waktu itu sangat memprihatinkan. Pantai tampak gersang, banyak pohon kelapa roboh karena abrasi, dan limbah kayu maupun sampah plastik berserakan. Fasilitas umum hampir tidak ada. Kawasan ini bahkan belum layak disebut destinasi wisata jika mengacu pada tujuh unsur Sapta Pesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan meninggalkan kenangan.
Namun demikian, warga tetap menjadikannya tempat pelesir. Saya sendiri sering mengajak keluarga ke sana. Anak-anak bermain pasir di tepi laut, sementara kami menikmati angin pantai dan mencicipi kuliner khas Tarakan: sanggar, kappah, dan makanan tradisional lainnya. Satu pengalaman unik adalah saat pertama kali saya menyadari bahwa pisang goreng di sini disantap dengan sambal, hal yang terasa asing bagi lidah Jawa saya, namun lama-lama jadi kesukaan.




Sebagian besar warung kuliner di sekitar pantai dibangun menyatu dengan rumah warga. Mereka melihat peluang dari lalu lintas pengunjung yang meningkat. Usaha dimulai secara swadaya, dan tumbuh menjadi sumber penghidupan utama. Dahulu, satu porsi kappah hanya Rp15.000, kini telah mencapai Rp50.000. Ini bukan sekadar soal inflasi, tapi juga gambaran tentang meningkatnya nilai ekonomi ruang publik di kawasan pantai.








Kesadaran untuk menata Pantai Amal secara menyeluruh mulai diwujudkan di masa kepemimpinan Walikota Dr. Jusuf S.K. (Alm). Ia menggagas perencanaan yang meliputi wilayah dari Amal Lama hingga ke Jembatan Medco (yang kini sudah tidak ada). Pembangunan dimulai dengan reklamasi pantai dan dilanjutkan dengan pemasangan revetment sebagai pengaman abrasi sekaligus pembentuk garis pantai yang teratur. Perencanaan tersebut juga mencakup kawasan kuliner, ruang publik, dan pusat budaya terbuka di area reklamasi. Pekerjaan reklamasi ini kemudian dilanjutkan dan diselesaikan pada masa Walikota H. Udin Hianggio, yang menggantikan Dr. Jusuf S.K. (Alm).









Kemudian pada masa Walikota Ir. Sofian Raga (Alm), upaya penghijauan kawasan pantai menjadi fokus. Dilakukan penanaman pohon-pohon peneduh di sepanjang jalur pantai dan reklamasi. Selain itu, akses jalan menuju kawasan panggung budaya Erau Tengkayu diperkuat melalui pengerasan dengan agregat, memperlancar mobilitas masyarakat sekaligus mendukung agenda budaya kota.
Pemerintahan selanjutnya di bawah Walikota Dr. Khairul melanjutkan pembangunan dengan menghadirkan Pantai Ratu Intan di sisi utara, berdekatan dengan kawasan punggung budaya. Meskipun rutenya tidak sepenuhnya mengikuti rancangan awal era sebelumnya, tetap terlihat kesinambungan semangat membangun pantai sebagai wajah kota.


Kini, Pantai Amal sudah jauh lebih tertata dan layak dikunjungi. Namun tantangan baru terus muncul. Pertama, kebersihan pantai dan masalah sampah plastik masih menjadi persoalan yang perlu perhatian serius, terutama di akhir pekan saat pengunjung membludak. Kedua, banyak area publik yang masih minim pohon peneduh, menjadikan suasana siang hari terasa panas dan kurang nyaman bagi pengunjung.
Ketiga, yang tak kalah penting adalah ketidakjelasan batas lahan publik antara wilayah yang dikelola pemerintah dan yang ditempati oleh pemilik warung kuliner. Jika tidak ditata dengan baik, ini bisa memicu tumpang tindih fungsi, konflik kepentingan, atau penurunan kualitas ruang terbuka publik. Karena itu, perlu disusun kesepakatan atau pola kerja sama saling menguntungkan antara pemerintah kota dan warga pelaku usaha kuliner, khususnya di area reklamasi. Tujuannya agar ruang publik tetap terjaga fungsinya, sekaligus memberi kepastian usaha bagi warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas wisata.
Pantai Amal kini bukan hanya ruang bermain, tapi juga ruang ekonomi dan sosial. Ia menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat pesisir, dan sekaligus simbol wajah kota di mata tamu dari luar daerah. Kita patut bersyukur atas kemajuan yang telah dicapai. Tapi pekerjaan rumah masih ada: menjaga ruang publik tetap bersih, nyaman, adil, dan berkelanjutan.
Bagi saya pribadi, Pantai Amal adalah saksi sejarah pembangunan Tarakan. Dari pantai yang tak tertata, kini menjadi kawasan wisata aktif. Dari tempat sunyi dan gersang, kini menjadi sumber ekonomi dan kebanggaan. Semoga ke depan, Pantai Amal terus tumbuh menjadi ruang yang menyatukan warga, budaya, alam, dan kenangan yang indah.
Oleh: Subono Samsudi, Pemerhati pembangunan dan lingkungan, mantan Kepala DLH-SDA Kota Tarakan