Baru-baru ini, media memberitakan bahwa kawasan wisata Pantai Ratu Intan di pesisir Amal, Kota Tarakan, tengah mengalami fase mati suri. Tempat yang semula digadang-gadang menjadi ikon wisata baru ini justru tampak lengang dari aktivitas wisatawan. Padahal, secara visual kawasan ini telah ditata dengan jalur pedestrian rapi, gazebo berarsitektur ringan, bola-bola warna-warni, dan lampu hias bergaya Eropa tropis. Sayangnya, lanskap yang tertata belum mampu membangkitkan gairah sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Salah satu penyebab utama adalah kebijakan tiket masuk yang sejak awal menuai kontroversi. Tarif yang sempat dipatok sebesar Rp35.000 per orang membuat masyarakat merasa terpinggirkan dari ruang publik yang seharusnya terbuka. Meskipun kini telah diturunkan menjadi Rp10.000, kesan eksklusivitas masih melekat. Pendekatan komersial semacam ini seakan menyamakan pemerintah dengan investor swasta, tanpa mempertimbangkan nilai inklusivitas dan keadilan sosial dalam tata kelola ruang publik.
Lebih dari itu, kawasan Pantai Amal sepanjang 2,2 kilometer semestinya dikelola dan ditata secara terpadu, agar tidak terkesan terpisah antara zona wisata Pantai Ratu Intan dan lokasi reklamasi lain yang belum dikembangkan. Keterpaduan dalam pengelolaan ini penting untuk membangun daya tarik kawasan secara menyeluruh, sekaligus menciptakan kesinambungan antara ruang yang dibangun dan ruang yang hidup secara alami.

Pembangunan kawasan wisata Pantai Ratu Intan di pesisir Pantai Amal, Kota Tarakan, merupakan salah satu upaya pemerintah kota untuk mempercantik wajah destinasi lokal. Jalur pedestrian rapi, gazebo berarsitektur ringan, bola-bola warna-warni, dan lampu hias bergaya Eropa tropis menjadi elemen visual utama yang menonjol. Sayangnya, di balik lanskap yang tertata, kawasan ini justru belum mampu membangkitkan gairah sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.



Sementara itu, kawasan Pantai Amal Lama yang terletak berdampingan tepatnya di lahan reklamasi era Wali Kota dr. Jusuf SK justru tetap ramai dikunjungi warga. Di sana, masyarakat bisa menikmati suasana santai tanpa beban biaya masuk, sambil menyantap kuliner khas pantai seperti sanggar, kappah, dan hidangan laut lainnya. Warung-warung kuliner tradisional ini tetap eksis, tidak tergeser oleh proyek pembangunan. Justru kawasan yang tidak dibangun inilah yang terus hidup dan menjadi tempat berkumpul lintas generasi.
Ironisnya, kawasan Ratu Intan tampak steril dan kurang ramah sosial. Minimnya ruang teduh akibat ketiadaan pohon besar membuat area terasa panas dan tidak nyaman di siang hari. Dominasi elemen beton tanpa penyeimbang vegetasi alami menghadirkan kesan kaku, kering, dan asing. Padahal, taman dengan pohon rindang bukan hanya mempercantik lanskap, tetapi juga penting untuk menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk serta menjaga ekosistem pantai berpasir khas Tarakan.

Lebih jauh, pembangunan tanpa keterlibatan masyarakat rentan berakhir seperti panggung tanpa pemain. Komunitas kreatif lokal, pelaku UMKM, bahkan nelayan setempat belum sepenuhnya dilibatkan dalam memaknai dan mengisi kawasan ini. Ruang publik mestinya bukan hanya ruang fisik, tetapi juga ruang sosial yang dibangun dari bawah ke atas lahir dari kebutuhan dan aspirasi warga.
Belum terlambat untuk melakukan koreksi arah. Pemerintah dapat menata ulang pendekatan pembangunan kawasan ini. Misalnya, mengaktifkan gazebo sebagai tempat nongkrong santai bertema budaya lokal, panggung musik akustik, atau ruang diskusi komunitas. Penanaman pohon-pohon besar yang cocok dengan ekosistem pantai juga sangat diperlukan, guna menghadirkan keteduhan dan memperkuat daya tarik kawasan secara ekologis maupun estetis.
Jika tidak, kawasan Ratu Intan akan terus sepi sendiri indah dipandang, tapi tak dirindukan.
Oleh: Subono Samsudi
*) Pemerhati pembangunan dan lingkungan, Ketua Komunitas Mantap Indonesia, Tarakan. Mantan Kepala Dinas LH SDA Kota Tarakan, pernah bekerja di KLH sekitar 10 tahun dan di Departemen Pertambangan dan Energi selama 3 tahun.