TARAKAN – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat.
Putusan ini mengamanatkan gratisnya biaya pendidikan untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) beserta sederajat, baik di bawah naungan pemerintah maupun swasta.
Kebijakan ini, meski bertujuan mulia, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlangsungan operasional sekolah swasta.

Ketua Bidang Kode Etik dan Advokasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Tarakan, Bahar Mahmud, yang juga seorang guru di salah satu sekolah swasta, memberikan pandangannya.
Ia mengakui langkah pemerintah untuk mempermudah akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Namun, di sisi lain, Bahar melihat potensi kendala bagi operasional sekolah swasta.
“Keputusan MK ini punya dua sisi mata uang. Positifnya, tentu ini meringankan beban biaya pendidikan masyarakat dan memperluas akses. Tapi, sisi negatifnya, ini akan berdampak pada eksistensi sekolah swasta yang selama ini mengandalkan iuran siswa,” ujarnya, Sabtu (31/5/25).
Bahar menambahkan, meskipun nantinya akan ada bantuan finansial dari pemerintah kepada sekolah swasta, Bahar cukup pesimis bahwa bantuan tersebut akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan operasional.
“Setiap sekolah swasta kan punya kebutuhan operasional yang berbeda-beda, tergantung ‘grade’ atau kualitasnya. Ada sekolah swasta yang memang serius memperhatikan fasilitas dan menjamin mutu pendidikan. Tentunya, ini membutuhkan biaya lebih dari yayasan untuk memberikan yang terbaik bagi siswa. Bagi saya, akan sulit jika sekolah swasta hanya mengandalkan bantuan pemerintah,” jelasnya.
Bahar menekankan bahwa pendidikan bukanlah semata bisnis, tetapi kualitas tetap menjadi nilai jual sebuah institusi. Ia mengibaratkan dengan dunia kesehatan.
“Ada harga, ada kualitas. Jika orang tua menginginkan pendidikan dan fasilitas maksimal untuk anaknya, tentu mereka akan mencari sekolah terbaik. Dan sekolah terbaik ini, dengan keunggulan di atas rata-rata, tentu membutuhkan biaya yang berbeda,” urainya.
“Ini bukan berarti saya bilang sekolah umum tidak maksimal ya, sekolah negeri itu sangat maksimal. Tapi, saya ingin menekankan bahwa ada persepsi masyarakat terhadap sekolah-sekolah tertentu yang membuat orang tua bersedia mengeluarkan biaya lebih demi pendidikan terbaik untuk anaknya,” tambahnya.
Menurut Bahar, saat ini masih banyak sekolah negeri yang membutuhkan pembenahan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus meningkatkan layanan dan fasilitas di sekolah negeri untuk memberikan manfaat yang lebih maksimal bagi siswanya.
“Jadi, saya kira, daripada pemerintah menyamaratakan semua sekolah, baik negeri maupun swasta, mungkin lebih baik pemerintah fokus pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah negeri. Bukan berarti sekolah negeri kurang berkualitas, saya kira sudah cukup baik. Namun, ada penilaian tersendiri dari masyarakat terkait peringkat sekolah. Saya khawatir putusan MK ini justru akan menurunkan kualitas sekolah swasta karena anggarannya bergantung pada bantuan pemerintah,” tuturnya.(**)