TARAKAN, – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tana Tidung mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) berisikan prosedur dan batasan yang jelas dalam pengelolaan hutan.
Sehingga mampu melindungi praktik perladangan tradisional yang dilakukan masyarakat adat secara terkendali, termasuk pembakaran hutan dan lahan.
Penyusunan Raperda inisiatif DPRD Kabupaten Tana Tidung Tahun 2024 dilakukan dengan Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan Universitas Mulawarman (Unmul) di Hotel Lembasung, Tarakan pada Sabtu (3/8/2024).
Kegiatan dirangkai dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Naskah Akademik dan Raperda Tana Tidung tentang Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan. Ditambah dengan kegiatan Sosialisasi Penyusunan Perda di lingkungan Sekretariat DPRD.
Ketua Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) Tana Tidung, Hanapi mengatakan Raperda yang dibahas tidak hanya berkaitan dengan prosedur batasan wilayah yang jelas. Tetapi, juga untuk melindungi praktik perladangan tradisional yang dilakukan masyarakat adat termasuk termasuk pembakaran hutan dan lahan.
Peraturan itu, menurutnya, juga membatasi pembakaran di luar hutan dan lahan gambut. Perda tersebut bertujuan untuk menjadi koridor bagi kegiatan yang mendukung penghidupan masyarakat adat dan bukan pihak lain, antara lain misalnya perusahaan.
“Bahwa membakar, peraturannya dua hektare dan paling banyak dalam satu hari itu 10 lokasi, tidak boleh lebih. Dan sebelum pembakaran itu pun harus didahului dengan izin. Andai kata di situ ada dewan adat, berarti mantir adat dan damang. Andai kata tidak ada, dengan kepala desa, dan diketahui ukuran-ukurannya juga,†kata Hanapi.
Ia menilai, masyarakat adat menjadi rentan untuk dimanfaatkan saat melakukan pembakaraan untuk pihak lain. Hanapi menggarisbawahi kepentingan landasan hukum tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasar.
“Intinya kalau kita, masyarakat adat ini, hanya akan memanfaatkan dan menggunakan peraturan untuk kehidupan. Keberlangusan pengelolaan lahan yang memang dari sejak nenek moyang kami itu merupakan tradisi untuk pemenuhan kebutuhan, karena selama ini pemerintah itu seolah-olah menganak-tirikan petani lokal,” tambahnya.
Selain itu, dikatakan Hanapi Raperda diperlukan demi mengatasi pembakaran hutan di wilayah tersebut. Terutama kasus kebakaraan hutan yang terjadi di ranah lahan masyarakat.
Hanapi mengungkapkan, antara lain karena dilakukan secara diam-diam dengan tujuan berlindung dari hukum dan kemudian api meluas.
“Lebih baik diberi payung hukum, silahkan membakar luasan tertentu, dengan syarat-syarat tertentu yang lumayan ketat, sehingga orang tidak sembunyi-sembunyi membakar. Tapi, lebih bahaya kalau sembunyi-sembunyi membakar, tidak terkontrol, tidak ada yang tahu,†pungkasnya.
Discussion about this post