TARAKAN – Kunjungan lapangan Komisi I DPRD Kota Tarakan ke Kelurahan Pantai Amal, Tarakan Timur, Selasa (6/5/25), membuka tabir baru dalam sengketa lahan yang telah lama meresahkan warga.
Dipimpin oleh Ketua Komisi I, Adyansa, tinjauan di RT 4 dan RT 5 tersebut menyoroti validitas sertifikat prada yang menjadi dasar klaim kepemilikan oleh pihak tertentu.
Adyansa mengungkapkan bahwa sertifikat prada, yang diterbitkan pada masa Tarakan masih berstatus kecamatan di bawah Kabupaten Bulungan, diduga kuat menjadi sumber permasalahan.

“Informasi yang kami dapatkan, sertifikat prada ini dulunya merupakan bentuk apresiasi pemerintah kepada pejabat atau pensiunan,” jelasnya.



Namun, kejanggalan muncul ketika fakta di lapangan menunjukkan bahwa warga telah mendiami lahan tersebut jauh sebelum sertifikat prada diterbitkan. Disitu juga ada bangunan permanen, termasuk sebuah masjid, berdiri kokoh di atas lahan yang dipersengketakan.
“Kami menemukan masyarakat yang sudah tinggal di sana turun-temurun, bahkan sebelum sertifikat prada itu ada. Ini inti masalahnya,” tegas Adyansa di lokasi sengketa.

Lebih lanjut, Komisi I menemukan anomali lain yang patut dipertanyakan. Di tengah konflik yang berkecamuk, sebagian warga di wilayah yang sama justru berhasil mengantongi sertifikat kepemilikan. Padahal, data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jelas menunjukkan bahwa kawasan tersebut masuk dalam zona garis merah.
“Ini sangat ganjil,” cetus Adyansa dengan nada heran. “Bagaimana mungkin di satu area yang oleh BPN dinyatakan sebagai zona merah, sebagian warga bisa memiliki sertifikat, sementara yang lain tidak? Ini harus kami usut tuntas.”
Menyikapi anomali ini, Adyansa menyatakan komitmennya untuk mencari solusi konkret akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk warga terdampak, pemegang sertifikat prada, BPN, serta instansi pemerintah terkait.
“Kami akan mengundang semua pihak untuk duduk bersama dalam RDP. Kami ingin mendengarkan semua perspektif dan mencari jalan tengah yang tidak merugikan masyarakat,” janji Adyansa.
Dampak sosial dari sengketa ini juga menjadi perhatian serius. “Warga di sini hidup dalam ketidakpastian. Ada masjid, rumah permanen, ini bukti mereka sudah lama menetap. Jangan sampai hak mereka terabaikan,” imbuh Adyansa.
Sengketa lahan di Pantai Amal menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemkot Tarakan dalam menata ruang dan menyelesaikan masalah kepemilikan tanah yang kerap kali menimbulkan konflik.
Adyansa berharap, melalui dialog konstruktif dan koordinasi yang baik, titik terang dalam kasus ini dapat segera ditemukan.
“Kami akan terus mengawal permasalahan ini hingga tuntas. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi prioritas utama,” pungkasnya dengan nada optimis.(**)