TARAKAN, Fokusborneo.com – Ratusan tenaga honorer kategori R4 di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan menghadapi ketidakpastian nasib.
Sebanyak 558 honorer ini terancam posisinya akibat peraturan baru yang mengharuskan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu atau di-outsourcing.
Menanggapi situasi ini, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tarakan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) dan perwakilan honorer R4, Kamis (4/9/25).

Dalam pertemuan tersebut, para honorer mengungkapkan kekhawatiran mereka. Hermawan perwakilan dari Aliansi R4 menegaskan para honorer siap diangkat secara bertahap jika anggaran daerah memungkinkan.
“Jika anggaran Kota Tarakan sudah siap untuk mengangkat kami penuh waktu secara bertahap 1 sampai 5 tahun, kami juga siap. Kalaupun ada rekan-rekan yang tidak setuju, silakan di-outsourcing,” ujarnya.

Namun, ia menekankan penolakan terhadap skema outsourcing, yang dianggap tidak menjamin keberlanjutan.
Senada dengan itu, Ardi, seorang honorer yang telah mengabdi selama 15 tahun, mempertanyakan lambatnya respons pemerintah daerah.
Ia membandingkan dengan daerah lain yang lebih cepat berinovasi dalam mengalihkan jabatan agar bisa diakomodasi. Contohnya jabatan sopir atau kebersihan, diubah menjadi tenaga teknis kehutanan dan umum di daerah lain.
“Di tempat lain, mereka berkreasi, berinovasi, prosesnya hilangkan dengan nama jabatan yang masuk,” katanya.
Ardi juga menyoroti adanya paksaan untuk mendaftar sebagai PPPK paruh waktu, yang dianggapnya tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Menanggapi keluhan para honorer, Kepala BKPSDM Kota Tarakan, dr. Joko Haryanto menjelaskan kebijakan ini tidak mewajibkan outsourcing atau pemutusan hubungan kerja.
“Tidak ada istilahnya wajib outsourcing ataupun putus. Jadi kebijakan soal ini adalah teman-teman tetap bekerja seperti biasa,” tegasnya.
Ia menambahkan pemerintah daerah masih memiliki kewenangan untuk memperpanjang pekerjaan para honorer. Namun, ia juga mengakui adanya pemotongan anggaran dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp200 miliar yang memengaruhi kebijakan.
Ketua Komisi I DPRD Kota Tarakan, Adyansa, menyambut baik perjuangan para honorer. Adyansa menyoroti perjuangan honorer untuk mendapatkan Nomor Induk Kepegawaian (NIK) pusat sebagai PPPK paruh waktu.
“Kami akan ke Jakarta tanggal 10 sampai 13 (September) untuk ke BKN dan Kementerian PANRB,” kata Adyansa.
Kunjungan ini bertujuan untuk mencari tahu apakah honorer R4 bisa didaftarkan dan mendapatkan NIK.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I, Baharudin menekankan pentingnya mempertimbangkan pengabdian dan masa kerja para honorer lama.
“Kasihan sekali mereka, dengan sabar hati, dengan gaji yang cuma Rp1,5 juta,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah daerah bisa memberikan pertimbangan lain selain hasil tes untuk mengangkat mereka.
RDP ini menyimpulkan tidak ada pemutusan hubungan kerja bagi honorer. Namun, tantangan utama adalah menemukan solusi yang berkelanjutan di tengah keterbatasan anggaran dan aturan pusat yang terus berubah.
Komisi I DPRD akan terus berjuang untuk memastikan nasib ratusan honorer ini terakomodasi dengan baik.(**)