TARAKAN, Fokusborneo.com – Sengketa kepemilikan lahan di Jalan Sei Sesayap, Sungai Pamusian, Kelurahan Kampung Empat, yang telah berlangsung hampir 27 tahun, dibahas Komisi I DPRD Tarakan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama ahli waris, Rabu (15/10/25).
Pertemuan ini bertujuan mencari kepastian hukum atas lahan seluas sekitar 10 hektare yang status kepemilikannya masih belum jelas hingga kini, meski sebagian telah dibebaskan pemerintah untuk kepentingan umum.
Perwakilan ahli waris, Ince Rifai, menekankan pentingnya kejelasan kepemilikan lahan. “Biar ada kepastian hukum, asas, taat asas semua kan. Biar ada ahli waris itu sebagaimana yang kita harapkan, supaya clear and clean. Selama ini hampir 27 tahun belum jelas,” ujarnya.
Rifai menjelaskan, sebagian lahan pernah dilepaskan pemerintah kota untuk pembangunan sarana olahraga, namun pembayaran kepada ahli waris dinilai tidak merata.
“Beberapa pihak menerima, sedangkan pihak lain tidak menerima. Tidak sesuai. Kalau dari keinginan ahli waris, kami ingin ada kepastian hukum, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan,” tambahnya.
Ia juga menyinggung dokumen pembebasan lahan yang diterbitkan pada 2007, 2008, dan 2009.
“Bukan dibayarkan ke pemilik sebenarnya, tapi beberapa pihak menerima. Saya tidak tahu persis karena saya tidak ada di tempat saat itu. Yang jelas beberapa pihak menerima, beberapa pihak tidak,” kata Rifai.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPRD Tarakan, Baharudin, menegaskan pihaknya akan memperjelas status tanah yang masuk Wilayah Kerja Pertambangan (WKP).
“Kita ingin memperjelas dulu status tanah yang dibahas karena ini masuk WKP. Banyak hal yang harus diperjelas, termasuk dokumen dan sertifikasi. Kami sudah jadwalkan pertemuan dengan Pertamina pada 27 Oktober. Tujuannya, supaya masalah ini bisa diselesaikan secara persuasif dan tidak menjadi konsumsi publik yang bisa memicu kegaduhan,” ujarnya.
Baharudin menambahkan, sengketa kembali muncul pada 2024 karena ahli waris merasa belum menerima pembayaran, sementara pemerintah memiliki dokumen yang menyatakan pembayaran sudah dilakukan.
“Awalnya ini untuk penyelesaian internal, persuasif, agar semua pihak mendapat kepastian hukum. Supaya tidak ada yang dirugikan,” tambahnya.
Ia menekankan pentingnya penyelesaian sengketa karena sebagian tanah masuk WKP dan telah mendapatkan anggaran pembangunan pemerintah. Rapat nanti akan melibatkan pemerintah, bagian hukum, DPRD, dan Bagian Aset Pemkot Tarakan.
“Kita ingin memperjelas dulu status tanah yang dibahas, karena ini masuk kewenangan Pertamina karena WKP. Banyak, perlahan-lahan kita agendakan untuk bertemu Pertamina pada 27 Oktober,” jelasnya.
Tujuannya, agar masalah ini bisa diselesaikan secara persuasif dan tidak menjadi bahan konsumsi publik yang bisa membuat gaduh.
“Jadi awalnya ini kan berbicara untuk menyelesaikan secara internal, secara persuasif. Tapi kalau dari Pertamina itu status lahan itu WKP. Nah itu cerita dulu. Makanya ini mau diselesaikan secara persuasif saja. Ya harapan saya ini tidak menjadi bahan konsumsi yang bisa membuat gaduh. Apalagi ada anggaran pemerintah disitu, jadi kita mau menyelamatkan itu,” jelas Baharudin.
Baharudin juga memberikan konteks regulasi pembebasan lahan. Pada 2007–2008, pembebasan lahan mengikuti Perpres No.36 Tahun 2005, relatif lebih sederhana. Sedangkan setelah 2012, pengadaan tanah mengikuti Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Perpres No.71 Tahun 2012, sehingga prosedur dan persyaratan lebih ketat.
“Proses penggantian rugi atau kompensasi lahan saat ini jauh lebih kompleks dibanding sebelumnya,” ujarnya.
Selain kasus Sungai Pamusian, Baharudin menyebut ada beberapa lahan lain yang masuk WKP, termasuk di area depan Islamic Center dan lahan Pengadilan Agama. Pembebasan lahan Pengadilan Agama sudah dilakukan pemerintah kota, dengan pembangunan menggunakan anggaran Kemenag.
“Tapi karena masih masuk WKP, sertifikat belum bisa diterbitkan,” tandasnya.(**)
Discussion about this post