KRAYAN – Di dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara, bentang alam menghadirkan lanskap yang tak lazim. Terletak tepat di perbatasan Indonesia–Malaysia, Desa Pa’ Kidang menyimpan destinasi yang mulai ramai dikenal bernama Buduk Udan.
Buduk Udan adalah bukit berketinggian 1.475 mdpl yang menyajikan panorama khas “negeri di atas awan”. Setiap pagi dan sore, kabut bergulung menyelimuti punggung bukit.
Dari puncaknya, dataran tinggi Krayan tampak seperti pulau-pulau hijau di lautan putih awan. Untuk menuju Buduk Udan, wisatawan harus menempuh perjalanan udara menuju Bandara Yuvai Semaring di Long Bawan.
Ada empat penerbangan menuju bandara ini antara lain dari Nunukan, Tarakan, Malinau, dan Berau. Dari Bandara kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Desa Pa’ Kidang. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalur tracking sejauh 5 kilometer menuju puncak.
Buduk Udan menjadi ikon wisata baru yang dikelola langsung oleh Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur, kelompok binaan Balai Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Selain menyuguhkan panorama puncak dan kabut, jalur trekking menuju Buduk Udan juga melewati kawasan habitat Rafflesia pricei, salah satu bunga langka dan dilindungi di Indonesia.
“Buduk Udan merupakan lokasi wisata andalan di desa kami. Sampai saat ini jumlah kunjungan yang datang sangat banyak, berasal dari wisatawan lokal maupun dari luar Krayan, bahkan dari negara tetangga (Malaysia),” kata Doni, Ketua Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur.
Doni menjelaskan, kehadiran wisata ini memberikan dampak nyata bagi masyarakat desa. Sejak berkembangnya Buduk Udan sebagai destinasi alam, Desa Pa’ Kidang meraih penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Desa ini masuk dalam 100 besar desa wisata terbaik nasional, sekaligus 10 besar terbaik se-Kalimantan Utara.
“Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang terkait peningkatan kapasitas kelompok wisata dan bantuan sarana prasarana,” ujarnya.
Pengelolaan wisata Buduk Udan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat desa melalui Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur. Konsep yang dikembangkan adalah wisata berbasis komunitas, tanpa hotel atau kafe modern, pengunjung diajak tinggal di homestay warga, makan makanan rumahan, dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Dayak Lundayeh.
Bagi pengunjung yang menginginkan fasilitas penginapan lebih lengkap, tersedia beberapa hotel dan penginapan di Long Bawan, yang menjadi pintu masuk utama Krayan sekaligus pusat transportasi dan logistik kawasan ini.
*Wisata yang Tumbuh dari Konservasi*
Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito, menjelaskan bahwa pengembangan Buduk Udan merupakan bagian dari pendekatan konservasi berbasis masyarakat. Balai TNKM aktif mendampingi warga desa penyangga taman nasional untuk mengelola potensi wisata tanpa merusak ekosistem.
“Desa Pa’ Kidang merupakan salah satu desa penyangga dan desa binaan kita. Di sana sudah dibentuk kelompok wisata Pa’ Kidang Makmur,” kata Seno.
Berbagai pelatihan telah dilakukan, termasuk pelatihan kepemanduan serta bantuan sarana dan prasarana. Balai TNKM juga membentuk kelompok monitoring khusus untuk Rafflesia pricei, agar masyarakat dapat mengenali masa tumbuh dan mekar bunga tersebut, serta menginformasikan kepada wisatawan.
“Kami berharap destinasi wisata Buduk Udan dapat dikembangkan dan dilestarikan, sehingga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat. Kami juga mengharapkan para mitra, pemerintah daerah, dan berbagai pihak turut mendukung pengembangan ini,” tegasnya.
*Perbatasan yang Tak Mudah Diakses, Tapi Dekat dengan Malaysia*
Di balik potensi besar itu, tantangan infrastruktur masih membayangi. Kepala Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Long Bawan, Hery Gunawan, mengakui bahwa aksesibilitas menjadi kendala utama dalam pengembangan kawasan ini. Jalur darat dari Malinau menuju Long Bawan belum sepenuhnya layak dilalui, sehingga transportasi udara menjadi satu-satunya pilihan utama menuju Krayan.
“Memang benar, sebagian besar kendaraan di sana dari Malaysia, terutama kendaraan roda empat. Ekonomi sangat berhubungan langsung dengan Malaysia karena aksesibilitas lebih dekat dengan Malaysia. Karena akses jalan darat saat ini masih proses pembangunan dari Malinau tembus Long Bawan,” jelas Hery.
Situasi ini menyebabkan pasokan logistik dan kebutuhan pokok warga di Krayan, termasuk Desa Pa’ Kidang, banyak bergantung dari Malaysia. Kendaraan berpelat Sarawak atau Sabah kerap terlihat mengangkut barang seperti sembako dan kebutuhan lain ke wilayah Krayan.
Namun kondisi geografis yang terisolasi inilah yang justru menjaga keaslian alam Krayan. Kawasan ini masih asri, jauh dari tekanan urbanisasi, dan tetap menjadi rumah bagi flora-fauna khas Kalimantan.
Dari batas negeri, Buduk Udan menyimpan kekayaan yang tumbuh dari bumi dan dijaga oleh warganya. Dengan dukungan komunitas, taman nasional, dan berbagai pihak, harapan untuk menjadikan Krayan sebagai model ekowisata perbatasan Indonesia pun kian menguat.
*Harapan untuk Masa Depan*
Pemerintah kini sedang membangun jalan darat penghubung dari Malinau ke Krayan. Jika rampung, jalur ini akan mempermudah distribusi logistik dan mempercepat pertumbuhan sektor wisata. Meski begitu, tantangan utama tetap menjaga agar perkembangan tersebut tidak mengganggu keseimbangan alam dan sosial.
“Dengan pengelolaan yang berkelanjutan dan dukungan semua pihak, Buduk Udan bisa menjadi contoh ekowisata perbatasan yang sukses,” ujar Kata Kepala Balai TNKM Seno Pramudito.
Pa’ Kidang kini bukan sekadar desa terpencil. Ia menjadi simbol perubahan, desa di ujung utara Indonesia yang menawarkan pengalaman langka yakni berada di atas awan, menyaksikan bunga langka, dan hidup bersama masyarakat yang menjaga hutan dengan cara mereka sendiri.
Kini, di ketinggian 1.475 meter dari permukaan laut, warga Desa Pa’ Kidang membangun harapan dari tanah yang dahulu nyaris tak terdengar gaungnya. Wisata Buduk Udan bukan sekadar menawarkan keindahan negeri di atas awan, melainkan juga menjadi bukti bahwa desa terpencil di perbatasan Indonesia-Malaysia bisa berdaya dan berdiri di atas potensi alamnya sendiri.
Keseriusan masyarakat dalam menjaga kawasan hutan, mendampingi wisatawan, hingga memantau bunga langka Rafflesia pricei menjadi bagian dari upaya bersama untuk menjaga keseimbangan antara alam dan kehidupan. Semua itu, didorong oleh pendampingan dan kerja sama lintas pihak.
“Kami dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang mendukung pengembangan wisata di luar kawasan taman nasional maupun di dalam kawasan taman nasional,” ujar Seno Pramudito, Kepala Balai TNKM.
“Desa Pa’ Kidang merupakan desa penyangga kita dan sudah dibentuk kelompok wisata di dalam pengembangan yang ada di sana. Kami juga sudah memberikan pelatihan kepemanduan, bantuan shelter, papan informasi dan membentuk kelompok monitoring Rafflesia pricei,” lanjutnya.
Harapannya jelas, Buduk Udan tak hanya jadi tempat wisata yang dikunjungi sesekali, tetapi menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat Dayak Lundayeh dan generasi penerus mereka.(**)