TARAKAN, Fokusborneo.com – Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kalimantan Utara (Kaltara) secara blak-blakan menyebut Tarakan telah menjadi “kawasan merah” atau zona darurat bagi aktivitas jaringan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal.
Data BP3MI mencatat, hingga Agustus 2025, sebanyak 1.510 orang calon PMI ilegal berhasil dicegah di Kaltara.
Hal ini diungkapkan Usman Affan, S.E, Ketua Tim Kelembagaan dan Kerjasama BP3MI Kaltara, dalam acara Sosialisasi Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Universitas Terbuka (UT) Tarakan, Sabtu (25/10/25).
Kegiatan ini, merupakan kolaborasi Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kaltara dan BP3MI.
Dalam paparannya mengenai Kebijakan Perlindungan PMI untuk Kawasan Perbatasan, Usman Affan menyoroti titik-titik rawan, khususnya di Tarakan. Apalagi di Tarakan sudah pelayaran kapal fery langsung ke Tawau, Malaysia.
“Tarakan ini sudah jadi kawasan merah. Di Lingkas Ujung, Kelurahan Sebengkok, Lintas, dan Gunung Likang. Di situlah lepasnya mereka tinggal di penginapan, kos-kosan sebelum ke Tawau,” tegasnya.
BP3MI telah mengambil langkah cepat, termasuk berkoordinasi dengan pihak Imigrasi di Tarakan. Usman meminta pengawasan ketat terhadap pendatang dari luar Kaltara seperti Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menghindari Nunukan dan memilih turun di Tarakan.
”Kalau ada yang berangkat perorangan dengan membawa visa kerja, jangan diberangkatkan. Berarti itu tetap ilegal,” katanya.
Ia menjelaskan, dari 1.000 penumpang kapal dari Parepare ke Nunukan, hanya 20% yang benar-benar penumpang Nunukan. Sisanya, sekitar 700 orang, hilang dalam dua hingga tiga hari dan diduga kuat menjadi korban jaringan ilegal.
Upaya pencegahan ini menghadapi tantangan berat, bahkan melibatkan ancaman fisik.
“Kami bukan hanya berhadapan dengan calo PMI, tapi juga aparat. Di situlah mereka jaringan ilegal menghasilkan uang, bahkan kami pernah mau dihantam pakai sangkur ,” ungkap Usman Affan.
Meskipun Kaltara secara statistik tidak banyak memiliki PMI asal daerahnnya karena mayoritas dari Sulsel dan NTT, BP3MI menegaskan Kaltara memiliki tanggung jawab penuh karena menjadi “Point of Entry” atau pintu masuk utama.
”Mohon maaf, sampai saat ini belum ada concern terkait masalah PMI. Jangan menganggap Nunukan merupakan beban,” kritik Usman Affan.
Ia mendesak Pemprov Kaltara untuk membuka diri dan mendukung penuh upaya perlindungan PMI.
“Suka tidak suka, mau tidak mau, harus dilewati Nunukan. Itu poin entry,” tegasnya.
Untuk mengatasi akar masalah, BP3MI mengusulkan ada beberapa poin kerja sama yang akan disampaikan dalam forum Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo).
Poin pertama, mendorong Kerajaan Sabah meningkatkan jenjang pendidikan anak-anak PMI dari SMP ke SMA/SMK, dengan melibatkan kewenangan pendidikan Kaltara.
Poin kedua, mengangkat isu batas waktu rontgen sebagai syarat kesehatan PMI yang dinilai tidak realistis, khususnya bagi PMI di perbatasan.
“Karena sebelum PMI ditetapkan memenuhi syarat untuk bekerja ke Malaysia, mereka sudah di rontgen di Indonesia. Tapi mereka disana di suruh cek rontgen,” ungkapnya.
Poin ketiga, menuntut perlakuan yang lebih manusiawi di tahanan Malaysia, termasuk masalah sanitasi yang sering menyebabkan penyakit kulit.
Poin keempat, memastikan PMI yang memiliki visa kerja harus tetap memiliki perjanjian kerja dan terlindungi dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial, dan hukum sesuai UU Nomor 18 Tahun 2017.
Usman Affan berharap elemen masyarakat, termasuk perguruan tinggi, dapat mendorong Pemprov Kaltara untuk mensupport secara utuh agar perlindungan PMI dapat diwujudkan di Bumi Benuanta.(Mt)














Discussion about this post