Budayawan yang jadi politisi. Atau politisi yang berjiwa budayawan? Keduanya seperti tidak dapat dipisahkan dari sosok Wempi W Mawa, Bupati Kabupaten Malinau.
Wempi memang sarat pengalaman di dunia politik. Bahkan, sebelum terjun ke arena politik, dia adalah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Malinau.
Saya coba mencari tahu, dari mana darah seni Wempi. Mengapa Ia memberikan perhatian besar terhadap kebudayaan? Apakah dia anak seorang seniman? Atau dia aktif berkesenian sejak muda? Saya tidak mendapat informasi apa pun. Dia hanya dikenal di organisasi kepemudaan dan partai politik. Jauh panggang dari api.
Karier politiknya melaju bagaikan Mark Marquez ngebut di Mandalika. Dua periode menduduki jabatan Ketua DPRD. Lantas terpilih menjadi Bupati di Bumi Intimung.
Saya terus mencari jejak Wempi di bidang seni. Mungkin dia senang menyanyi? Atau mencipta lagu? Dua kali saya ikut acara formal –dimana Wempi hadir disitu. Pertama penutupan Festival Seni & Budaya Tahol dua pekan lalu. Dan pembukaan Festival yang sama Dayak Lundayeh Senin (21/2) kenarin. Di dua acara itu Wempi tidak menyanyi, menari pun tidak.
Tapi ada yang unik. Di dua pesta rakyat itu, Wempi unjuk kebolehan seni merangkai kata. Yah, Wempi selalu menutup pidatonya dengan pantun. Anda sudah tahu, pantun merupakan seni berbahasa yang dikenal luas berasal dari masyarakat Minang, Sumatera Barat.
Tapi sudahlah, kebudayaan ternyata tidak hanya kaplingan para seniman. Ada juga kok, politisi yang peduli. Wempi saya anggap pelopor. Minimal, di Kalimantan Utara.
Biasanya, Festival Seni & Budaya baru digelar di acara Irau. Atau hari-hari besar daerah. Malinau beda. Festival digelar setiap bulan. 11 suku tampil bergantian. Panggung Padan Liu’ Burung yang megah itu, akhirnya tidak mubazir dibangun.
Wempi betul-betul mengeksploitasi kekayaan budaya Malinau. Bukan sebagai komoditas politik. Tapi murni, niatnya melestarikan budaya leluhur.
Sebenarnya, kegiatan seperti ini potensi disusupi politik. Karena melibatkan banyak orang. Tapi sejauh pengamatan saya, tidak ada bendera parpol. Tamu yang datang pun mengenakan pakai adat. Jadi masih seteril.
Wempi mengaku, acara adat seperti ini lahir dari kecemasannya. Dia takut, anak-anak lebih mengenal Tik Tok atau budaya pop. Dibandingkan adat istiadat leluhurnya. Kecemasan itu dia ungkapkan dalam pidato pembukaan Festival Seni & Budaya Lundayeh.
“Saya senang lihat anak-anak bersemangat mengikuti parade busana. Mereka tidak canggung mengenakan baju adat. Itulah salah satu tujuan Festival ini kita laksanakan,” ungkapnya.
Wempy bagai penghulu. Dia mengawinkan senin dan budaya dengan ekonomi kreatif. Berkolaborasi dan saling menguntungkan.
Dia yakin, Festival budaya yang digelar rutin, akan memiliki daya dongkrak ekonomi. Khususnya UMKM. Prosesi adat, pentas seni atau peragaan busana diatas panggung itu, menjadi magnet orang datang ke Alun-Alun. Merekalah yang akan belanja di tenda-tenda yang sudah disiapkan panitia. Uang berputar. Bisnis anak-anak muda, industri kreatif desa akhirnya memiliki pasar. Dan masyarakat pun terhibur.

Wempi sadar, sebagai kepala daerah yang terpilih di tengah pandemi Covid-19 harus berpikir kreatif. Bekerja keras. Tidak boleh menggunakan cara-cara konvensional. Hanya berharap dari APBD. Atau uluran tangan pemerintah pusat. Malinau harus bisa menyelesaikan persoalannya sendiri.
Pilihan mengkolaborasikan budaya dan ekonomi kreatif adalah ide briliant. Minimal, dua sektor sekaligus bisa dia bereskan dalam waktu bersamaan.
Ada beberapa pekerjaan rumah yang tersisa. Diantaranya, bagaimana Festival budaya ini bisa mendatangkan turis. Berarti harus membenahi sejumlah sektor. Promosi yang maksimal, akomodasi standar dan kemasan acara yang lebih menarik.
Paling tidak, Festival ini menjadi sarana trial and error. Mencoba, lantas mengevaluasinya secara menyeluruh. Yang menurut saya paling memukau adalah, kegiatan sebesar ini tanpa campur tangan pemerintah. Terutama pendanaan. Tidak ada proposal di meja kerja Bupati. Atau pejabat lainnya. Seluruhnya hasil kreatifitas paguyuban. Mereka putar otak mencari dana.
Contohnya Festival Lundayeh ini. Bupati hadir pun hanya sebatas undangan membuka dan menutup acara
“Seluruh kegiatan murni sumbangan dari warga Lundayeh. Murni swadaya. Sepeser pun kami tidak minta ke pemerintah,” kata Pendeta Baron Darmadi Ketua Panitia pelaksana.
Wempi sudah menabuh gendang. Kini giliran masyarakat Malinau yang berdendang.
Penulis : Dody Irvan














Discussion about this post