TARAKAN – Puluhan nelayan menggelar aksi demontrasi dengan membawa jala di depan Kantor DPRD Kota Tarakan, Kamis (6/2/25). Aksi tersebut, untuk mengadukan nasibnya karena wilayah tangkapnya terganggu dengan aktifitas kapal tongkang dan niaga yang melintas atau tambat untuk loading di sekitar perairan Tarakan.
Padahal, selama puluhan tahun perairan Tarakan banyak menghasilkan hasil laut yang menjadi sumber pemasukan nelayan sebelum kedatangan kapal-kapal besar.
Keluhan tersebut, disampaikan nelayan dalam rapat dengar pendapatan (rdp) yang difasilitasi DPRD Kota Tarakan dengan menghadirkan instansi terkait diantaranya Dinas Perhubungan Kota Tarakan, Dinas Perikanan Kota Tarakan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Polairud Tarakan, Distrik Navigasi Kelas III Tarakan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), serta Pengawas Perikanan atau Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Provinsi Kaltara, Rustan mengatakan kedatangan ini, untuk menyampaikan terkait pemanfaatan tata ruang laut Provinsi Kaltara yang amburadul. Derdasarkan peta tata ruang zona yang dipaparkan dalam rpd, ternyata zona tangkap nelayan sudah tidak ada.


“Dilihat dari peta yang dipaparkan dalam rdp, zona tangkap nelayan itu memang sudah tidak ada. Jadi kami merasa hak kami sudah dirampas oleh kepentingan ekonomi, kenapa ? karena disitu ada loding batu bara di tambah kegiatan baru pabrik bubur kertas PT Phoenix Resources International (PRI),” tegasnya.
Rustam menambah armada kapal yang mengangkut kebutuhan PT PRI, cukup banyak seperti bahan baku kayu yang diolah menjadi bubur kertas. Belum lagi kapal niaga dan barang, sehingga membuat ruang laut di Kota Tarakan menjadi kecil untuk nelayan.

“Sementara kita tahu, bahwa komunitas nelayan yang paling banyak di Kaltara ada di Tarakan. Ironisnya kecil dan sempit ruang lautnya, jadi kalau aturan seperti itu nelayan mau dikemanakan. Kenapa? karena semua sudah menjadi wilayah kerja pelabuhan dan nelayan sudah tidak bisa melakukan penangkapan ikan,” ujarnya.
Rustan mengusulkan supaya kegiatan loading batubara yang ada di depan perairan Tanjung Pasir dan Batu, digeser keluar ke laut lepas. Ia juga menanyakan analisis dampak lingkungan (amdal) dalam aktifitas loading tersebut, karena dampaknya sangat merugikan nelayan.
“Itu juga kami tanyakan amdal nya betul kah sudah diperiksa sampai di hilir atau tidak, jangan sampai hanya di hulunya saja. Kalau itu diangkut sampai dilaut, kan kami yang jadi korbannya karena itu bisa menimbulkan pencemaran soalnya batubara itu kalau sudah jatuh ke laut lama sekalia baru hancur,” tegasnya.
Ia berharap stakeholder terkait yang punya kewenangan, bisa meninjau lokasi tambat dan loading kapal batubara. Agar tidak menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
“Mudah-mudahan itu bisa menjadi pertimbangan KSOP untuk memindahkan tambat dan loading kapal batubara. Kalau itu dipindahkan ke laut lepas, saya kira tidak terlalu padat sudah di ruang laut kita itu,” tutupnya.(**)