TARAKAN – Mediasi yang difasilitasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tarakan akhirnya membuahkan hasil. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, PT Putra Raja Mas, Hotel Makmur, dan Hotel Airport sepakat untuk mengembalikan ijazah yang sebelumnya ditahan kepada para eks pekerja mereka.
Pengembalian ijazah ini, juga disaksikan langsung Ketua Komisi I Adyansa dan Anggota Komisi I DPRD Kota Tarakan Saparuddin.
Freddy Alfian, Direktur PT Putra Raja Mas yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang Industri (Kadin) Kaltara, menegaskan komitmennya untuk mengembalikan ijazah tanpa syarat pembayaran.
Ia meluruskan praktik yang terjadi selama ini bukanlah penahanan, melainkan penyimpanan ijazah karyawan.
Freddy menjelaskan pihak perusahaan bersedia mengesampingkan semua persyaratan yang sebelumnya diajukan. “Kami kesampingkan semua, asalkan ada surat pengunduran diri dan tanda terima ijazah asli. Jika tanda terima asli hilang, cukup buat surat pernyataan kehilangan tanda terima ijazah. Itu saja sudah cukup,” ujarnya.
Kebijakan ini berlaku untuk semua mantan karyawan. Namun, Freddy menyoroti kasus seorang eks pekerja berinisial IKS.
Ia merasa dirugikan secara inmateriil dan materiil akibat pemberitaan media pada 28 Juni lalu yang dianggapnya mencemarkan nama baik perusahaannya.
“Saya berharap ada itikad baik dari IKS untuk melakukan klarifikasi. Kami selalu berharap setiap karyawan yang masuk dan keluar dari perusahaan saya dapat menjalin hubungan yang baik,” harap Freddy.
Lebih lanjut, Freddy menegaskan bahwa IKS tidak pernah dipecat, melainkan berhenti secara sukarela karena adanya pelanggaran kesepakatan.
“Dia (IKS) akhirnya tidak mengambil ijazah itu, bukan saya yang menahan. Saya meminta media untuk menanggapi masalah ini secara positif agar pemberitaan berimbang dan apa yang kami sampaikan di DPRD adalah fakta,” tegasnya.
Ia menambahkan sangat tidak logis jika perusahaan memberhentikan karyawan namun menahan ijazah mereka.
Mengenai informasi perusahaan yang meminta biaya Rp500 ribu dan diserahkan ke badan amal, Freddy menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan yang dibahas saat mediasi di Disnaker.
“Memang pada saat itu kesepakatan yang kami tunjukkan ke Disnaker ada dan ditandatangani oleh karyawan yang bersangkutan. Kami tidak pernah memaksa siapa pun. Jika ada keberatan, seharusnya pekerja tidak menandatangani,” jelas Freddy.
Ia berharap nama baik perusahaan dan dirinya dapat dipulihkan. Terkait uang yang katanya diserahkan ke Baznas, Freddy menegaskan bahwa itu bagian dari perjanjian kerja yang disepakati di awal wawancara.
“Jika pekerja keberatan, tidak usah tanda tangan. Mengenai penyaluran ke badan zakat, memang ada kesepakatan itu,” ujarnya.
Freddy menambahkan penggunaan uang tersebut adalah hak pribadinya, dan kebetulan beberapa eks karyawan melanggar kesepakatan, sehingga pihak perusahaan menerapkan kebijakan tersebut.
“Aturan yang sudah kami buat harus kami taati. Aturan dibuat untuk ditaati, termasuk peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
Freddy menyampaikan saat ini tidak ada lagi ijazah karyawan yang disimpan di perusahaannya, menyusul terbitnya Surat Edaran (SE) dari Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2025.
“Ini sudah sangat jelas. Saya harap ini menjadi momentum baik bagi pengusaha dan pekerja untuk terus menjaga hubungan yang baik. Masuk baik-baik, keluar baik-baik,” harapnya.
Ia kembali mendesak IKS untuk melakukan klarifikasi demi menjaga nama baik perusahaan dan memastikan keseimbangan berita.
“Saya tidak bisa berbicara pada tanggal 28 karena saya tidak ada di tempat. Berita menyebut saya melarikan diri, padahal saya ke luar negeri bersama anak-anak yang membutuhkan visa. Itu harus diurus jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tidak mungkin saya melarikan diri,” jelasnya.
Freddy menambahkan, eks pekerja yang sudah sejak 2016 seharusnya bisa datang ke perusahaannya untuk mengambil ijazah. Mengenai jumlah ijazah yang ditahan, ia tidak memiliki daftar spesifik, namun dalam rapat DPRD, pihaknya terbuka bagi siapa pun yang ingin mengambil ijazahnya.
“Buat apa saya tahan? Saya juga tidak bisa menggadaikannya. Saya sudah sampaikan kepada semua pekerja saya, bagi perusahaan ijazah itu tidak ada harganya. Saya sangat berharap pekerja menghargai ijazah mereka,” ucap Freddy.
Ia juga mengapresiasi mediasi yang dilakukan anggota DPRD dan Ketua HIPMI yang telah memfasilitasi penyelesaian masalah ini.
Mengenai keluhan eks pekerja terkait pembayaran, Freddy menegaskan bahwa syarat tersebut telah dikesampingkan. Eks pekerja hanya perlu datang membawa surat tanda terima ijazah.
Ia juga mengungkapkan praktik penyimpanan ijazah ini sempat diterapkan di beberapa perusahaannya sebelum edaran menteri keluar pada 2025.
Freddy menjelaskan praktik penyimpanan ijazah yang hampir dilakukan semua perusahaan, memiliki manfaat untuk mencegah kerugian finansial. Ia mencontohkan kasus di hotelnya di Berau, di mana seorang oknum pekerja mengambil uang muka penyewaan ballroom sebesar Rp10 juta untuk kepentingan pribadi.
“Karena di awal ada kesepakatan terkait penyimpanan ijazah, kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan tanpa proses hukum,” jelasnya.
Contoh lain, seorang karyawan baru di hotelnya mengambil uang Rp1,5 juta dari laci. “Karena kami menyimpan ijazah yang bersangkutan, masalah itu selesai tanpa proses hukum. Ini ibaratnya ada jaminan bagi perusahaan, karena kami tidak bisa tahu latar belakang setiap karyawan satu per satu,” tegas Freddy.
Oleh karena itu, keputusan menyimpan ijazah diminta sejak awal. Jika pekerja keberatan, seharusnya mereka tidak menandatangani dan tidak bekerja di perusahaan tersebut. Ini juga menjawab pertanyaan mengapa tidak hanya meminta fotokopi ijazah.
“Kalau fotokopian ijazah saya simpan, kasus di Berau tadi, Rp10 juta hilang dan orangnya kabur. Kalau ijazah asli masih ada pada saya, maka diselesaikan secara kekeluargaan,” pungkasnya.(Mt)














Discussion about this post