Oleh: Doddy Irvan
Wawancara Bupati di ruang kerja biasa. Bertandang ke rumah dinas juga biasa saja. Nah, yang tidak biasa itu, ngobrol santai sekaligus wawancara Wempi W Mawa di alun-alun Malinau. Lesehan sambil menikmati segelas kopi.
Bertemu Wempi tidak disengaja. Saya bersama teman-teman wartawan dari Jakarta berniat nonton festival budaya di alun-alun. Malam itu, giliran tampil Dayak Tahol. Disisi kanan panggung, dekat tenda penjual kopi rupanya Wempi duduk bersila. Ditemani seorang kolega dan anak laki-lakinya.




Padahal, persis di seberang panggung terdapat tenda lengkap dengan bangku yang disusun rapi. Tapi, orang nomor satu di Malinau itu memilih berbaur dengan pengunjung lainnya. Melihat kedatangan kami, Wempi mempersilahkan duduk bersila diatas paving block yang telah dilapisi kain bekas baliho yang disiapkan anak buahnya.








“Ayo kita ngumpul rame-rame di sini,” ujar politisi Partai Demokrat itu sambil melambai-lambaikan tangannya.









Kami pun mengambil posisi bersila. Baru duduk sebentar, Wempi langsung bicara menjelaskan acara pesta adat yang sedang berlangsung di atas panggung. Ia seperti tour guide. Menjelaskan dengan detail.
“Bulan ini giliran masyarakat Dayak Tahol. Mereka tampil selama 3 hari. Semua yang disajikan budaya Tahol. Mulai prosesi adat, makanan, tarian dan seluruh yang ditampilkan terkait Dayak Tahol. Pokoknya mereka yang punya panggung ini,” jelasnya panjang lebar.


Kami pun terkesima. Ditempat lain, acara seperti ini biasa digelar tahunan. Minimal di hari-hari besar. Di Malinau ternyata berbeda. Sejak Wempi berkuasa, Ia membuat program setiap bulan harus digelar pesta adat. Siapa yang tampil? Pertanyaan saya itu langsung disambar Wempi.
“Ini pertanyaan bagus. Begini, di Malinau ini ada 11 suku besar. Mereka secara bergiliran setiap bulan tampil di alun-alun. Bulan ini jadwal Tahol. Bulan depan giliran yang lain. Nanti setelah 11 suku sudah semua kebagian tampil, di bulan Desember akan kami kumpulkan. Disitulah puncaknya pesta adat,” jelas Wempi.
Konsep ini luar biasa. Wempi meyakini, acara pesta adat bukan sekadar hiburan semata. Tapi memiliki dampak ekonomi yang besar. Khususnya di sektor riil.
“Anda lihat, warung di sebelah kita ini yang punya anak-anak muda. Mereka kaum milenial. Masuk kategori UMKM. Jual kopi dan makanan. Pendapatan mereka luar biasa. Inilah cara kita membuat strategi agar bisa bertahan disaat ekonomi sedang berat-beratnya dihajar Covid-19,” tegasnya lagi.
Hampir setengah dari seluruh diskusi kami, Wempi selalu menyinggung Millenial. Dia begitu antusias. Matanya pasti melotot, mimiknya serius. Gesturnya menunjukkan bahwa dia begitu bersemangat jika membahas anak muda.

Lihat saja 5 program unggulannya saat kampanye yang kini menjadi program kerjanya. Hampir seluruhnya menyangkut anak muda dan ekonomi kerakyatan.
Saya ambil contoh satu saja. Desa sarjana. Terlihat klise dan biasa. Tapi program ini ternyata sangat visioner. Garis besarnya begini. Pemerintah akan mencari anak-anak desa, yang memiliki potensi dan memenuhi syarat dikuliahkan dengan biaya pemerintah. Tidak hanya sampai jenjang Strata 1. Tapi hingga S2 bahkan S3.
“Tapi jurusannya harus disesuaikan dengan potensi desa. Misalnya di desa itu punya potensi wisata. Mereka harus kuliah di bidang pariwisata, tata boga bahkan bahasa asing. Kenapa harus spesialisasi? Karena merekalah yang akan mengembangkan desanya sesuai potensi. Bukan orang luar,” jelas Wempi sambil tersenyum.
Wow. Ini terobosan luar biasa. Seperti main bola, serangan langsung ke jantung pertahanan. Program ini menarget anak muda. Uniknya, semua program selalu bersentuhhan dengan anak muda. Malam itu, tidak satu pun Wempi menyebut akan membangun proyek mercusuar. Gedung raksasa, bandara terbesar dan sejenisnya. Ia sadar, Malinau punya ciri khas yang harus ditonjolkan dan dijual. Di periode awal pemerintahannya, Wempi fokus membangun SDM dan ekonomi rakyat. Menurutnya inilah pondasi utana Malinau. Dan motornya milenial.
Sebenarnya banyak hal menarik dari obrolan malam itu. Diantaranya program RT bersih dan beras untuk rakyat. Dan semuanya layak dibedah dalam sebuah tulisan. Bahkan berseri-seri. Tapi saya berjanji akan membuatnya di lain waktu.
Tidak terasa hari telah berganti. Karena waktu telah menunjukkan pukul 00.00. Lapangan sudah sepi. Pengunjung meninggalkan alun-alun. Pedagang pun telah mengemas barang-barangnya. Tapi kami sepertinya malas berdiri, terus asyik melakukan tanya jawab dengan Wempi.
Terimakasih Pak Bupati. Ternyata, ngobrol dengan politisi itu gak melulu membahas politik. Diluar tema politik pun seru. Termasuk membahas milenial. Biasanya, milenial hanya menjadi objek politik mendulang suara saat kampanye. Nah, kali ini berbeda. Bagi Wempi, milenial adalah tulang punggung kebangkitan ekonomi dan masa depan Malinau. Mereka harus diberdayakan, dibantu dan diberi kesempatan. Walau pun rambutnya sudah memutih, tapi Wempi tetap layak dijuluki Bupatinya Milenial. (pai)