KALTARA – Menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem saat rapat konsolidasi Nasdem Kaltara Senin, 09 Desember 2019 di Kota Tarakan, Ahmad Ali menyebutkan bahwa “Partai NasDem akan menempatkan rakyat sebagai salah satu barometer yang menjadi tolak ukurnya dalam mengambil keputusan, dimana kebijakan politik itu untuk kepentingan publikâ€. (https://fokusborneo.com/fokus/2019/12/09/dpp-nasdem-ketua-dpw-belum-jaminan-diusung-partai/)
Langkah-langkah yang dilakukan untuk itu adalah melalui survei agar dapat diketahui dan diadopsi siapa bakal calon pemimpin yang dicintai dan dikehendaki oleh rakyat. Hal itu ditegaskan oleh Ahmad Ali “Bahwa Nasdem mengusung calon sesuai kehendak rakyat yang dibuktikan dari hasil survei bukan karena pengurus partai, baik itu kader ataupun non kader akan diberlakukan sama, tidak ada keistimewaan hakâ€.
Pernyataan tersebut terlalu terburu-buru menjadi konsumsi publik, apalagi itu disampaikan langsung oleh tokoh nasional petinggi partai yang memiliki peran penting dalam proses mentransfer informasi kepada publik.

“Pernyataan Waketum DPP Nasdem akan menjadi bola panas, dengan kata lain bahwa kalaulah memang kiblatnya adalah hasil survei, semestinya tidak perlu ada kalimat tidak harus kader, sebab secara implisit akan muncul penafsiran-penafsiran berbedaâ€.



Implisit itu pengaruh yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Jika itu benar terjadi, maka yakin bahwa situasi politik di internal partai Nasdem di Kaltara akan dirundung keterpecahan.
“Berbicara soal disukai rakyat atau tidak, itu kan relatif, terlepas survei siapa yg mengungguli siapa. Tidak saya pungkiri bahwa lembaga survei itu bisa menjadi cermin demokrasi bagi Parpol untuk memperbaiki kinerjanyaâ€.

Elektabilitas saja belum cukup untuk membawa kemenangan. Perlu pertimbangan faktor lain bagi masyarakat untuk memilih seorang calon gubernur. Seperti contoh “Fenomena Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012â€. Ketika calon gubernur petahana, Fauzi Bowo, memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga. Namun, kenyataannya Fauzi Bowo tetap bisa dikalahkan Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Banyak lembaga survei keliru di Pilkada DKI 2012 yang dimenangi pasangan Jokowi – Ahok. Padahal, sebelum pemilihan disebut petahana yang ketika itu dijabat Fauzi Bowo selalu unggul. Begitupun dengan Pilkada DKI 2017 yang dimenangi Anies Baswedan – Sandiaga Uno mengalahkan petahana Ahok – Djarot.
“Saya sering menemukan hasil survei kerap salah. Namun, itu bukan berarti mengurangi kepercayaan saya akan kualitas kerja lembaga survei, saya tetap menghargai kajian ilmiah dan integritasnyaâ€.
Masih ingat dengan pernyataan politisi Nasdem Willy Aditya sewaktu seminar diskusi terbuka yang menjadi rangkaian acara kongres ke-II Partai NasDdem di November lalu, bertajuk “Politik Gagasan di Era Post Ideologi”. Politik gagasan itu bukan sekedar instalansi kemewahan, bukan juga hanya gimik dalam demokrasi.
Berdirinya Republik Indonesia diawali melalui politik gagasan yang dibawa oleh para founding fathers bangsa baik itu Soekarno, Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Willy menilai “Esensi politik tidak hanya terus menerus berbicara tentang kemenangan. Sebaliknya, politik justru harus merealisasikan tujuan pembangunan dan kemajuan bangsa. Karenanya Nasdem hadir untuk memberikan keadilan dan kebahagiaan pada masyarakat”.
Berangkat atas hal ini, maka saya memetik kesimpulan bahwa “Partai Nasdem tidak menjadikan politik gagasan itu semata kekuasaan sebagai tujuan, melainkan menjadi alat untuk meraih tujuannya. Jadi, politik gagasan itu merupakan praktik politik yang mengedepankan gagasan sebagai komoditas utama, yang ditawarkan kepada publik sekaligus menjadi agenda utama perjuangan yang dalam konteks ini, partai politikâ€.
Politik gagasan bukan politik yang mengedepankan persamaan identitas, faktor kedekatan, atau aspek-aspek nonrasional lainnya, tetapi lebih kepada politik kualitatif. Hal inilah yang menjadi kelebihan partai Nasdem yang belum atau tidak dianut oleh partai lainnya.
Dari masih berstatus Ormas, NasDem sudah mengusung jargon “Restorasi”, yang mana diharapkan menjadi motor penggerak perubahan. Setelah berubah menjadi Partai Politik, jargon tersebut tetap melekat di tubuh Nasdem. Partai Nasdem berhasil membumikan restorasi politik, bukan restoran politik.
Di era post ideologi seperti saat ini, gagasan menjadi sesuatu yang paling sering ditawarkan. Utamanya dalam praktik politik di negara-negara yang sudah cukup matang demokrasinya. Ia bisa jadi merupakan partisi atau kombinasi dari berbagai ideologi yang pernah ada sebelumnya, yang paling penting ialah seberapa berdasar dan argumentatif gagasan itu disampaikan.
Ideologi secara umum jika dilihat dalam kehidupan sehari hari dan ideologi politis jika dilihat dari beberapa arah filosofis atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat.
“Bahwa tujuan utama di balik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak yang tentu tidak hanya sekadar pembentukan ide yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisitâ€.
Mirisnya, di tanah air kita, tidak terkecuali Kaltara, era post ideologi tidak tersubstitusi oleh banyaknya gagasan yang muncul dalam arena politik kontemporer. Dalam momen pemilu atau pilkada memang kerap muncul visi-misi yang datang dari para calonnya.
“Pendidikan gratis, biaya kesehatan gratis, SIM seumur hidup, gratis pajak kendaraan, dan lain sebagainyaâ€.
Padahal sebetulnya itu bukanlah gagasan. Ia hanya menjadi tawaran atau lebih sering menjadi gimik yang disampaikan kepada calon pemilih agar mau memilih. Tidak salah dan tidak jelek, tapi tetap saja itu bukanlah gagasan. Alih-alih gagasan, politik era post ideologi di Indonesia diisi dengan praktik politik yang pragmatis.
Sehingga harapannya jangan politik kuantitatif menjadi alasan supremasi logika yang terepresentasikan dari istilah-istilah seperti popularitas, elektabilitas, kapasitas, akseptabilitas, likeabilitas, hingga bahkan ‘’isi tas’’.
“Begitulah manifes dalam kehidupan politik tanah air kita selama hampir dua dasawarsa belakangan ini. Yang disebut gagasan mungkin muncul dalam berbagai kampanye dan acara debat para calon kepala pemerintahan, tapi ia tidak menjadi representasi dari apa yang disebut politik gagasan, banyak yang kurang menekankan soal kualitas, kredibilitas, dan integritas. (Oleh: Fajar Mentari)