OPINI – Pertumbuhan ekonomi secara global masih mengalami penurunan dan risiko resesi perikonomian global meningkat dikarenakan penurunan permintaan dan terganggunya produksi terbatasnya mobilitas manusia sejalan kebijakan yang diberlakukan oleh masing-masing negara di dunia, mencegah dan mengurangi penyebaran Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi negara maju diprakirakan terkontraksi atau menurun cukup dalam disebabkan dampak Covid-19 yang mendorong ketidakpastian multi aspek, pola pandemic, gangguan pasokan, perubahan perilaku, efek kepercayaan, harga komoditas fluktuasi dll.
Berdasarkan Recent Economic Development (RED) April 2020 oleh Bank Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada 2020 diprakirakan terkontraksi cukup dalam akibat penurunan aktivitas ekonomi terdampak Covid-19, meski kebijakan fiscal dan moneter ultra-akomodatif telah diterapkan. Inflasi AS di bawah target disertai dengan ekspetasi inflasi yang menurunkan signifikan. Begitu pula dengan negara Tiongkok, ekonomi mengalami perlambatan disebabkan dampak Covid-19 di Tiongkok dan efek rambatan pelemahan negara lain yang menyebabkan penurunan permintaan dan gangguan rantai suplai global.

Kondisi yang sama juga dialami oleh Indonesia, penurunan pertumbuhan ekonomi pada 2020 akibat Covid-19, penurunan ekspor pada 2020 akibat melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran dunia, serta rendahnya harga komoditas global. Ekspor jasa juga mengalami penurunan terutama pada sector pariwisata yang diakibatkan terhambatnya proses mobilitas antar negara sejalan dengan upaya memitigasi risiko perluasan Covid-19.



Penurunan wisman (Wisatawan Mancanegara) pada beberapa bandara di Indonesia, Bandara Ngurah Rai pada Februari 2020 mengalami penurunan -19,8% sedangkan pada Maret 2020 mengalami penurunan sangat tajam sebesar -62,5%. Bandara Soekarno Hatta pada Februari 2020 mengalami penurunan -22,4% dan Maret 2020 penurunan -69,5%. Bandara Juanda pada Februari 2020 mengalami penurunan -19,8% sedangkan Maret 2020 mengalami penurunan sebesar -69,9%, begitu pula Bandara yang lainnya hampir semuanya mengalami penurunan Wisman.
Dampak Covid-19 juga dialami pada konsumsi rumah tangga yang mengalami pelambatan pertumbuhan yang disebabkan adanya penurunan pendapatan masyarakat akibat pembatasan social dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, turunnya pendapatan ekspor dan melemahnya keyakinan konsumen.

Penurunan juga dialami oleh sector investasi, dikarenakan adanya melemahnya ekspor barang dan jasa serta menurunnya produksi. Penurunan berbagai indikator dini investasi, seperti penjualan semen, PMI manufaktur, mengindikasi perlambatan investasi.
Bank Indonesia telah menempuh berbagai langkah kebijakan dan memperkuat koordinasi untuk menjaga stabiltas moneter dan pasar keuangan, termasuk memitigasi risiko Covid-19. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 13 – 14 April 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7- Day Reverse Repo Rate ( BI7DRR ) sebesar 4,50 %, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25% serta penguatan kebijakan bauran.
Ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini relative tinggi merupakan pertimbangan dari keputusan Bank Indonesia dalam mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4.50% dikarenakan perlunya menjaga stabilitas eksternal, meskipun Bank Indonesia juga melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi, selain itu Bank Indonesia juga memperhatikan stabilitas dan penguatan nilai tukar Rupiah.
Dalam penguatan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia melakukan intensitas kebijakan triple intervention melalui spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. Pada intervensi di spot, dengan menjual valas untuk menahan pelemahan nilai rupiah, dan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) merupakan instruimen lindung nilai dengan transaksi yang penyelesaian transaksi dilakukan dalam mata uang Rupiah, sedangkan intervesi pada pembelian SBN dari pasar sekunder dimaksudkan Bank Indonesia membeli SBN yang dilepas oleh investor asing, termasuk bank-bank, perbankan dalam negeri juga membeli SBN yang dilepas oleh asing. Langkah intervensi yang dilakukan Bank Indonesia ini merupakan upaya stabilitasi nilai tukar Rupiah di tengah keluarnya aliran modal asing terspon oleh pasar, kebijakan ini diyakini akan mempengaruhi pasar keuangan.
Mengapa intervensi Bank Indonesia pada tiga komponen tersebut ?
Di semua negara mengalami tekanan dipasar keuangan, tidak hanya di Indonesia yang disebabkan oleh investor global yang menghadapi ketidakpastian sangat tinggi, adanya dampak Covid-19. Bank Indonesia untuk menyakinakan investor dengan terus menerus berada di pasar menjaga kepercayaan investor dan meredam tekanan di pasar keuangan melalui triple intervention, spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Dengan adanya hal tersebut maka diyakini bahwa nilai tukar Rupiah akan tetap stabil, pada 13 April 2020 nilai tukar Rupiah menguat 4,35% meskipun Rupiah masih mencatat depresi sekitar 11,18% disbanding dengan level akhir 2019. Ditempuhnya berbagai kebijakan dan didukung oleh berlanjutnya pasokan valas dari pelaku domestic sehingga menopang stabilitas nilai tukar Rupiah dan menyebabkan perkembangan Rupiah yang kembali menguat.
Stabilitas nilai tukar Rupiah diyakini dapat memadai untuk mendukung penyesuaian perekonomian, dan diperkirakan nilai tukar Rupiah bergerak stabil serta cenderung menguat ke arah Rp. 15.000 per dollar Amirika Serikat ( AS ) di akhir tahun 2020. Diharapkan Bank Indonesia terus melakukan meningkatkan intensitas intervensi di pasar spot, pasar DNDF, dan pembelian SBN dari pasar sekunder, serta mengoptimalkan operasi monoter, agar dapat memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas di pasar uang dan pasar valas.
(Penulis: Dr. Ana Sriekaningsih.,S.E.,M.M)