“Semuanya mantap tulisanmu. Cuma semua itu faktor fulus. Tanpa fulus nonsen. Kalau cuman rapat dengar pendapat biasa aja.”
Oleh: Doddy Irvan (pai)
Itu pesan WA dari seorang kawan. Setelah membaca dua tulisan bersambung soal Deddy Yevri Hanteru Sitorus (DS). Nadanya begitu apriori. Kawan saya itu menyimpulkan, kiprah DS hari ini semata-mata faktor uang.
Pendapat itu sah-sah saja. DS memang berbeda dengan dua orang anggota DPR RI dapil Kaltara lainnya. Hasan Saleh (Partai Demokrat) dan Arkanata Akram (Nasdem).
DS terlihat lebih menonjol. Ia aktif melaporkan aktivitasnya di media sosial. Setiap reses dia selalu mengagendakan sejumlah kegiatan di dapilnya.

Seperti minggu ini. Agendanya menyalurkan bantuan kendaraan dari CSR BRI di Sebatik, Nunukan. Setelah itu ke Malinau, jumpa Bupati Wempi. Dilanjutkan vaksinasi massal di Tarakan.


“Ini vaksin bantuan langsung dari Kementrian Kesehatan. Hasil komunikasi dengan Menkes,” jelasnya.
Setelah itu menuju Tanjung Selor. Ketemu Bupati Syarwani. Lanjut menonton lomba balapan ketinting. Malamnya bertemu masyarakat Mangku Padi mendiskusikan kasus tanah. Diakhiri ngopi bareng bersama komunitas anak-anak muda Tanjung Selor.

Itu sekali trip. DS selalu memaksimalkan waktunya. Yang ditemui bukan hanya kader PDIP konstituennya. Nyaris semua kalangan.
Apa ini luar biasa? Kalau nanya lagi ke teman saya tadi, pasti jawabnya biasa saja.
Bagi DS reses menjadi ajang menyerap aspirasi. Seperti saat bertemu warga Mangku Padi yang dikordinir Alwan Saputra. DS begitu serius menyimak persoalan tanah. Ia mencatat semua keluhan warga soal harga yang tidak sesuai NJOP.
Tak hanya menyerap informasi. Ketika bertemu anak-anak muda Tanjung Selor, DS mengingatkan persiapan menghadapi pembangunan Kawasan Industri Pelabuhan Internasional (KIPI) Mangku Padi.
“Kalau kalian tidak menyiapkan diri dari sekarang, tenaga kerja KIPI akan diisi orang luar. Jangan sampai kalian hanya jadi penonton,” ujarnya.
Apakah itu keren? Pasti kalau saya tanyakan sama teman yang tadi, jawabannya biasa aja.
Begitulah konsekuensi menjadi pejabat publik. Tak selalu mendapat sorak sorai. Meskipun sudah berjibaku mati-matian. Tetap ada cibiran.
Termasuk soal keberanian. Di WA, kawan saya itu melanjutkan menulis: “Iya aku tau pai. DS tuh siapa, dia itu berani karena ada orang besar dibelakangnya.”
Betul. Selama ini dibelakang DS ada orang besar. Namanya Gomes. Perawakannya tinggi besar. Dia adalah Tenaga Ahli (TA). Kemana-mana selalu mendampingi DS. Itu jawaban saja dalam hati, bukan WA.
Begitulah menghadapi asumsi. Keberanian selalu diidentikkan dengan beking. Seolah-olah, orang baru berani jika mendapat dukungan tokoh besar di belakangnya. Padahal tidak selalu. Berani itu sifat alamiah manusia. Jika Ia merasa benar, pasti keberanian muncul. Begitu sebaliknya.
“Saya tidak takut apapun dan pada siapa pun juga, jika benar. Tapi kalau Sofie sudah telpon: “Papa, pulangâ€! Gw bilang: “iya, adekâ€! #ygpunyakuasa. Ini isi status Facebook DS hari Kamis 21 Oktober.
DS selalu takluk dengan anak bungsunya itu. Ia tidak bisa berkutik kalau Sofie sudah bertitah
Soal Sofie, tidak ada komen dari kawan saya. Karena tidak masuk dalam materi diskusi.
Tapi soal kebenaran yang diyakininya, DS tidak akan mundur sedikit pun. Seperti beberapa bulan lalu. Dia menyoroti pencemaran limbah batu bara di Malinau. Khalayak Kaltara tau, siapa pemilik tambang batu bara itu. Dia adalah konglomerat lokal. Uangnya gak berseri. Bekingnya pun papan atas punya. Kaki tangannya banyak. Termasuk pejabat lokal. DS takut?
“Gue gak takut. Selama yang gue bela rakyat,” tegasnya.
Berbalas WA berlanjut dengan kawan sata. Kali ini dia menyindir soal sekolah DS di Inggris. Teman saya itu mempertanyakan, sumber dananya.
“Pai. Dia sekolah sampai ke luar negeri itu uang dari mana? Pasti ada org dibelakangnya. Jakarta itu Pai?”
Nah, soal ini jujur saya tidak bisa menjawab, karena belum sempat bertanya langsung ke DS. Akhirnya saya juga berasumsi. DS kuliah di Inggris tahun 2006. Ia masih aktif di LSM. Periode itu PDIP masih menjadi oposisi pemerintahan SBY. Belum berkuasa.
“Mungkin dia dapat beasiswa dari luar negeri. Banyak kok, lembaga luar negeri yang kasih beasiswa,” jawab saya singkat.
Yang seru itu diskusi soal dekatnya DS dengan kekuasaan. Banyak yang menganggap –termasuk kawan saya itu– DS mengambil keuntungan karena PDIP sedang berkuasa. Makanya dia terlihat menonjol dibandingkan dua anggota DPR yang lain.
Hal itu sepertinya wajar-wajar saja. Malah Kaltara diuntungkan. Kaltara ini provinsi baru. Modalnya hanya 3 anggota legislatif. Dan 4 anggota DPD. Bagaimana mau bersaing dengan provinsi lain.
DS menyadari hal itu. Aksesnya dikekuasaan dia manfaatkan. Banyak menteri dan wakil menteri kawan baiknya. Begitu juga komisaris dan direktur utama BUMN temannya ngopi.
Beberapa kepala daerah dia ajak safari ketemu menteri. Begitu juga proposal pembangunan yang dititipkan kepala daerah, DS tak sungkan mengantarnya ke kementrian. Dia seperti kurir proposal pembangunan Kaltara di Jakarta.
Saya menggunakan analogi sederhana pembuatan KTP. Kalau punya “orang dalam” pasti cepat jadi. Nah, DS memanfaatkan “orang dalam” itu agar proposal Kaltara bisa segera dieksekusi.
Tidak hanya mengantar, dia juga mengawal proposal itu. Setiap saat DS mengingatkan kawannya yang menteri untuk memprioritaskan proposal Kaltara.
Siapa nama kawan saya itu? Rahasia. Sudah ya. Ini tulisan terakhir serial Deddy Sitorus. Jangan sampai saya mendapat gelar PhD. Penulis harian Deddy Sitorus. (pai/habis)