Menu

Mode Gelap

Opini

Air Mata Kilo 2


					Anggota DPR RI Deddy Sitorus. Foto : Ist Perbesar

Anggota DPR RI Deddy Sitorus. Foto : Ist

Oleh: Doddy Irvan

Suaranya lantang kalau berdebat. Bahkan cendrung kasar. Menusuk ke jantung lawan debatnya. Tapi saat bicara masa depan anak-anak, Ia tanpa sadar meneteskan air mata. Itu yang terjadi pada Deddy Sitorus, Anggota DPR RI di Kilo 2, Jelarai Tanjung Selor Jumat (30/6/23).

width"300"

Hari itu politisi PDI Perjuangan ini diundang berdialog dengan warga Nusa Tenggara Timur (NTT) Kaltara. Puluhan orang berkumpul di halaman warga setempat.

Acara ini sudah lama diagendakan. Namun karena kesibukan, Deddy Sitorus baru bisa menghadirinya. Itu pun disela-sela jadwal penyerahan sapi kurban.

Satu persatu warga NTT berbicara. Ada yang mengeluh soal jalan lingkungan di Kilo 2. Ada juga yang menyampaikan pujian saat Deddy Sitorus berdebat di Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One. Pernyataan demi pernyataan Ia simak baik-baik di kursi bagian depan.

Usai empat tokoh itu berbicara, giliran Deddy memegang mic. Penampilannya malam itu sangat sederhana. Ia mengenakan kaus polo warna hijau dan celana hijau tua. Tidak pakai sepatu. Tapi sandal. Membuat kader banteng ini begitu santai. Bersahaja dan tak berjarak.

Di kalimat pembukanya, Deddy balik bertanya. ‘’Siapa yang sudah bertemu saya? Angkat tangan?’’ Tanya Deddy.

Tidak banyak yang mengangkat tangan. Tandanya, hanya sedikit warga NTT yang hadir di acara itu pernah bertemu langsung dengan politisi Senayan ini. Namun, banyak yang mengaku selalu menonton perdebatan dirinya di televisi.

Lantas Deddy menjelaskan mengapa Ia tidak sering bertemu warga NTT di Tanjung Selor.

‘’Dulu waktu kampanye saya pernah kesini. Tapi setelah terpilih saya fokus membantu warga kita di pedalaman. Yang dikeluhkan bapak-bapak tadi belum seberapa dibandingkan apa yang dihadapi saudara-saudara kita di pedalaman,’’ ucapnya menjelaskan.

Suaranya semakin lantang. Padahal malam itu Ia mengaku kurang fit. Tapi ketika menjawab pernyataan yang disampaikan warga sebelumnya, jiwanya bergejolak. Jarang sekali ayah tiga anak itu tiba-tiba emosional ketika berpidato. Ia kembali bertanya.

‘’Berapa jumlah warga NTT di Kaltara?’’ Tanyanya. ‘’Banyak!” Jawab warga kompak. ‘’Tapi sampai hari ini, adakah warga NTT yang menjadi pejabat? Apakah ada yang menjadi anggota DPRD?’’ Tanya Deddy berapi-api.

Suasana tiba-tiba hening. Warga saling menatap. Dada mereka seperti dihujam benda keras. Beberapa tokoh di depan tertunduk. Tiba-tiba Deddy memecah keheningan.

Ia memanggil seorang anak yang sedang duduk dipangkuan ibunya. Anak berusia sekitar 5 tahun itu berjalan mendekat. Deddy lantas menunduk dan menggendongnya.

‘’Kalau kalian tidak kompak, bagaimana masa depan anak ini,’’ ujarnya sambil mencium pipi balita itu.

Tangisan pria yang dikenal keras ini pun pecah. Ia seperti tidak bisa menahan gejolak emosinya. Semua melihat, Deddy menyeka air mata yang menetes dipipinya. Mengapa Ia begitu emosional?

Sebagai politisi, Deddy mengaku begitu mengenal karakter masyarakat NTT. Tanpa tedeng aling-aling Ia mengatakan, persoalan utama warga NTT itu adalah kekompakan.

‘’Politik itu matematika bukan asumsi. Jadi semua bisa dikalkulasi. Bicaralah seluruh tokoh-tokoh. Duduk kalian bersama. Satu kan suara. Tentukan siapa warga NTT yang didukung di pemilihan legislatif nanti. Jangan sampai hanya gara-gara uang 200 ribu, kalian pilih orang lain yang tidak punya ikatan emosional,’’ ujar Deddy diikuti seruan, ‘’Betul…’’ dari warga.

Deddy mewanti-wanti. Akibat tidak solid, soal jalan lingkungan seperti di Kilo 2 saja warga tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa mengeluh. Tidak ada satu pun wakil rakyat yang bisa memperjuangkan jalan itu.

Itu baru soal jalan. Persoalan yang dihadapi warga NTT begitu kompleks. Terutama disektor perkebunan. Menurut Deddy, Ia mengetahui banyak warga NTT yang bekerja di kebun-kebun kelapa sawit mengalami perbudakan. Tinggal ditempat yang tidak layak. Para pekerja itu pasrah, yang penting mereka bisa bekerja dan makan.

‘’Itu karena apa? Karena suara kalian bisa dibeli 200 ribu saat pemilu. Yakinlah, mereka hanya datang saat kampanye. Setelah terpilih mereka tidak akan peduli. Baru sekarang kita mengeluh. Yah, nggak ada artinya,’’ papa Deddy.

Tidak terasa hampir 40 menit pria Batak ini berbicara. Diujung, Deddy kembali mengingatkan warga NTT kompak dan solid. Ia menggunakan filosofi lidi.

‘’Contoh lidi. Kalau hanya satu tidak akan ada manfaatnya. Tapi kalau banyak dan terikat kuat, lidi bisa menjadi sapu dan bermanfaat,’’ tutup Deddy. (Pai)

Artikel ini telah dibaca 133 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

BI Kaltara dalam Meningkatkan Penggunaan QRIS di Daerah Wisata

24 Juli 2025 - 11:12

Menuju Tarakan Modern Melalui Utilitas Terpadu,

21 Juli 2025 - 18:28

Menuju Kebun Raya Mangrove Tarakan

15 Juli 2025 - 11:04

Mengguncang Stabilitas Rupiah: Antara Gelombang Global Dan Dinamika Domestik

14 Juli 2025 - 14:40

City Gas Tarakan: Prestasi yang Belum Selesai

8 Juli 2025 - 14:02

SINAR DATA: Aksi Perubahan untuk Masa Depan Tata Kelola Aset Tanah yang Terintegrasi dan Berkelanjutan di Kabupaten Tana Tidung

23 Juni 2025 - 20:16

Trending di Opini