Penulis : Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
(Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Utara)
Setiap kali Ramadhan tiba, suasana keagamaan umat Islam tampak berubah drastis. Masjid-masjid yang biasanya lengang mendadak penuh, shalat berjamaah menjadi lebih semarak, bahkan shalat Subuh yang sebelumnya sepi kini ramai. Fenomena ini menunjukkan bagaimana Ramadhan membangkitkan kesadaran beribadah, sebuah momentum luar biasa yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi energi perubahan, termasuk dalam membangun peradaban.
Namun, semangat ini sering kali hanya bertahan di awal Ramadhan. Seiring berjalannya hari, antusiasme beribadah mulai meredup. Padahal, Rasulullah SAW justru semakin meningkatkan ibadahnya di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Aisyah RA meriwayatkan:
“Jika telah masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah menghidupkan malam-malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaannya, bagaimana agar semangat Ramadhan ini tidak sekadar menjadi fenomena tahunan yang bersifat seremonial, tetapi benar-benar melahirkan perubahan yang berkelanjutan?
Ramadhan dan Kesadaran Berislam
Ramadhan adalah momen penyucian jiwa, tempat kita menempa ketakwaan sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ketakwaan inilah yang menjadi fondasi utama dalam membangun peradaban. Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam mencapai kejayaannya ketika umat Islam memiliki kesadaran berislam yang tinggi—bukan sekadar menjalankan ritual, tetapi menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam kehidupan.
Di Kalimantan Utara, kita bisa melihat bagaimana kesadaran berislam dapat menjadi penggerak perubahan sosial. Contohnya, tradisi gotong royong dalam membangun masjid atau rumah ibadah, yang tidak hanya memperkuat ukhuwah Islamiyah, tetapi juga menjadi cerminan bahwa nilai-nilai Islam hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Di sektor ekonomi, semangat berbagi selama Ramadhan bisa lebih dioptimalkan dalam bentuk gerakan kemandirian ekonomi berbasis masjid. Program seperti warung sedekah atau bantuan usaha bagi keluarga prasejahtera di daerah pesisir dan pedalaman Kaltara dapat menjadi bagian dari implementasi ajaran Islam yang lebih konkret.
Dari Ritual ke Peradaban
Jika Ramadhan hanya dipahami sebagai ritual tahunan tanpa ada transformasi dalam kehidupan sosial, maka kita kehilangan esensi ibadah itu sendiri. Nabi SAW telah mengingatkan dalam sebuah hadis:
“Akan datang suatu zaman di mana umat Islam menjadi seperti buih di lautan, banyak tetapi tidak memiliki kekuatan.” (HR. Abu Dawud)
Hal ini terjadi ketika umat Islam lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, lebih sibuk dengan simbol daripada substansi. Maka, tugas kita adalah menjadikan Ramadhan sebagai sarana untuk membangun kualitas pribadi dan komunitas.
Di Kalimantan Utara, tantangan peradaban nyata terlihat dalam berbagai aspek, seperti pemerataan pendidikan, penguatan ekonomi umat, dan menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman. Spirit Ramadhan harus menjadi motor penggerak untuk menciptakan perubahan di bidang-bidang ini.
Sebagai contoh, di beberapa daerah pesisir Kaltara, masih banyak anak-anak yang kesulitan mengakses pendidikan berkualitas. Semangat berbagi yang tumbuh di bulan Ramadhan seharusnya tidak berhenti pada pemberian santunan sesaat, tetapi berlanjut dalam bentuk program beasiswa atau pembinaan bagi generasi muda agar mereka memiliki daya saing dalam membangun daerahnya.
Selain itu, semangat zakat, infak, dan sedekah yang meningkat di bulan Ramadhan harus diarahkan untuk memperkuat ekonomi umat, misalnya melalui program pemberdayaan usaha kecil dan koperasi syariah yang dapat membantu masyarakat menghadapi tantangan ekonomi.
Kesimpulan
Esensi Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi membangun komitmen terhadap nilai-nilai Islam secara berkelanjutan. Keberhasilan ibadah Ramadhan terletak pada kesungguhan (jiddiyah), komitmen (iltizam), konsistensi (istiqamah), dan keberlanjutan (istimrariyah). Tanpa itu, kita hanya akan mengulang pola yang sama setiap tahun tanpa ada perubahan yang berarti.
Allah SWT berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
Ayat ini mengajarkan bahwa keberkahan peradaban lahir dari keimanan dan ketakwaan yang terwujud dalam aksi nyata. Maka, mari menjadikan Ramadhan sebagai momentum kebangkitan, tidak hanya secara spiritual tetapi juga dalam membangun peradaban yang lebih baik, dimulai dari lingkungan kita di Kalimantan Utara.
Allahu A’lamu bis-shawab.