Menu

Mode Gelap

Opini

Dari Sipadan–Ligitan ke Ambalat: Pelajaran Pahit dan Tantangan Diplomasi Kini


					Subono Samsudi Bersama Tokoh Masyarakat Tarakan. Foto: ist Perbesar

Subono Samsudi Bersama Tokoh Masyarakat Tarakan. Foto: ist

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia melalui putusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002 menjadi salah satu momen paling memilukan dalam sejarah diplomasi dan geopolitik Indonesia. Meski memiliki klaim historis kuat – berdasarkan warisan Kesultanan Bulungan dan kedekatan sosial-budaya masyarakat pesisir Kalimantan Utara – Indonesia dinyatakan kalah.

Dua pulau kecil yang secara geografis jauh lebih dekat ke Kalimantan dibanding ke Sabah itu akhirnya dinyatakan sebagai milik Malaysia, semata karena mereka mampu menunjukkan bukti pengelolaan nyata: membangun mercusuar, mengelola pariwisata, dan menghadirkan administrasi yang berkelanjutan.

width"300"
width"300"
width"300"

Ironisnya, Mahkamah di Den Haag tidak memberi bobot besar pada kesepakatan status quo yang sempat dibuat kedua negara—yang seharusnya melarang segala bentuk pengelolaan sepihak. Aktivitas Malaysia, yang justru melanggar kesepakatan tersebut, di mata pengadilan dianggap sebagai bukti kuat kepemilikan berdasarkan prinsip effectivités dalam hukum internasional. Inilah pelajaran pahit yang semestinya tidak terulang.

width"400"
width"200"
width"400"

Sayangnya, hanya tiga tahun setelah putusan ICJ itu, langkah sepihak kembali dilakukan oleh Malaysia di wilayah yang berdekatan—yakni Blok Ambalat. Pada Februari 2005, Petronas memberi konsesi migas kepada Shell di wilayah laut yang sebagian besar tumpang tindih dengan Blok Ambalat, yang sebelumnya telah diberikan Pemerintah Indonesia kepada Unocal dan ENI. Langkah ini memicu ketegangan diplomatik bahkan militer. Beberapa insiden laut antara kapal TNI AL dan angkatan laut Malaysia nyaris memicu bentrokan bersenjata.

width"400"
width"400"
width"400"

Berbeda dengan kasus Sipadan–Ligitan, kali ini respons Indonesia jauh lebih cepat dan tegas. Pemerintah tidak hanya melayangkan protes diplomatik, tetapi juga memperkuat kehadiran dan kegiatan eksplorasi di Blok Ambalat melalui ENI Indonesia. Landasan yuridis ditegaskan berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Ambalat, yang secara geografis dan historis jelas berada dalam kedaulatan Indonesia, dikelola sebagai wilayah strategis—rentan, namun kaya sumber daya migas.

Setelah lebih dari dua dekade ketegangan, batas maritim di kawasan ini belum juga disepakati secara definitif. Tahun 2025, Indonesia dan Malaysia memilih langkah pragmatis: mengelola Blok Ambalat secara bersama (joint development). Kesepakatan ini diumumkan usai pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Perdana Menteri Anwar Ibrahim, sebagai upaya mencegah konflik dan memastikan potensi sumber daya tidak menjadi sumber sengketa berkepanjangan.

width"400"

Apakah joint development ini berarti Indonesia mundur? Tidak. Justru ini adalah langkah strategis untuk mempertahankan posisi sambil menjaga stabilitas kawasan. Pemerintah memahami bahwa penyelesaian batas laut secara hukum bisa memakan waktu puluhan tahun, sebagaimana dialami banyak negara Asia Tenggara. Skema ini bukan bentuk penyerahan, melainkan bukti bahwa Indonesia hadir, mengelola, dan menjaga integritas wilayah.

Meski demikian, ada sejumlah catatan penting. Pertama, Indonesia tidak boleh mengulangi sikap pasif seperti pada kasus Sipadan–Ligitan. Kehadiran negara di wilayah perbatasan harus nyata: bukan hanya kontrak migas dan patroli laut, tetapi juga pembangunan infrastruktur, pengawasan lingkungan, dan pelibatan masyarakat lokal. Masyarakat pesisir Kalimantan Utara harus merasa terlibat dan terlindungi, sebagai garda terdepan wilayah strategis bangsa.

Kedua, perundingan batas maritim tetap menjadi prioritas. Joint development hanyalah jembatan menuju penyelesaian hukum yang adil dan final. Dalam proses ini, posisi Indonesia yang sejak awal melakukan eksplorasi resmi dan sah di Ambalat harus terus dikedepankan. Kegiatan migas yang telah berjalan sejak akhir 1990-an merupakan bukti efektivitas pengelolaan yang dapat dipertahankan secara hukum dan politik.

Ketiga, koordinasi lintas sektor mutlak diperlukan. SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Luar Negeri, TNI AL, dan Pemerintah Daerah Kalimantan Utara harus bersinergi menjaga kepentingan nasional. Situasi makin kompleks dengan munculnya reaksi dari pemerintah negara bagian Sabah dan sebagian anggota DPR Malaysia yang mempertanyakan kesepakatan ini dan menuntut transparansi. Ini menunjukkan bahwa dinamika internal Malaysia tidak sesederhana yang terlihat, sehingga Indonesia perlu berhati-hati agar kerja sama ini tidak dimanfaatkan sepihak di masa depan.

Kini, Ambalat kembali menjadi sorotan, bukan karena ancaman senjata, tetapi karena dinamika politik dan diplomasi yang mengiringinya. Sebagian anggota DPR Malaysia mempertanyakan prosedur kesepakatan dan menuntut penjelasan, sementara DPR RI juga mendorong klarifikasi untuk mencegah salah persepsi. Pelajaran dari lepasnya Sipadan–Ligitan menjadi pengingat keras bahwa kedaulatan tidak cukup dijaga di meja perundingan, tetapi harus dibuktikan lewat kehadiran nyata negara di lapangan.

Ambalat adalah ujian berikutnya. Jika dihadapi dengan strategi, kewaspadaan, dan persatuan nasional, wilayah ini bisa menjadi contoh keberhasilan diplomasi dan pengelolaan sumber daya di perbatasan. Namun jika lengah, bukan tidak mungkin sejarah pahit akan berulang—dan taruhannya bukan hanya sumber daya alam, melainkan juga martabat kedaulatan bangsa.

 

Oleh: Subono Samsudi, Pemerhati Pembangunan dan Lingkungan, Mantan Kepala DLH SDA Kota Tarakan, Pernah bekerja di KLH dan DESDM, Anggota Dewan Pakar Pakuwaja Kota Tarakan

Artikel ini telah dibaca 111 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Akankah Mangrove Tarakan menjadi Tragedy of the Commons?

31 Juli 2025 - 08:09

Kawasan Industri Siap Bangun: Kunci Daya Saing Investasi Kota Tarakan

29 Juli 2025 - 08:52

BI Kaltara dalam Meningkatkan Penggunaan QRIS di Daerah Wisata

24 Juli 2025 - 11:12

Menuju Tarakan Modern Melalui Utilitas Terpadu,

21 Juli 2025 - 18:28

Menuju Kebun Raya Mangrove Tarakan

15 Juli 2025 - 11:04

Mengguncang Stabilitas Rupiah: Antara Gelombang Global Dan Dinamika Domestik

14 Juli 2025 - 14:40

Trending di Ekonomi