Tak banyak yang tahu bahwa Pulau Tarakan, kota kecil di utara Kalimantan,sesungguhnya menyimpan kekayaan ekologis luar biasa: hutan mangrove yang membentang dari tengah kota hingga ke kawasan militer, dari sungai-sungai hingga ke pinggir laut. Bukan hanya luas,tapi juga beragam-dan inilah kekuatan yang seharusnya menjadi kebanggaan kita semua.
Indonesia memang tercatat sebagai negara dengan keanekaragaman jenis mangrove tertinggi di dunia,dengan sekitar 202 jenis tumbuhan terkait mangrove dan 47 jenis mangrove sejati. Di antara seluruh wilayah Indonesia, Tarakan menonjol sebagai kota pesisir dengan bentang kawasan mangrove yang masih utuh dan memiliki variasi ekosistem yang khas.
Saya membayangkan, bagaimana bila Tarakan kita ubah menjadi Kebun Raya Mangrove pertama yang berbasis kawasan kota? Sebuah kawasan konservasi, edukasi, dan wisata berbasis ekosistem pesisir tropis yang tak hanya melestarikan alam, tapi juga memperkuat identitas daerah dan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan.
Mosaik Kawasan Mangrove Tarakan
Gagasan ini bukan mimpi kosong. Tarakan mnemiliki modal nyata berupa mosaik kawasan mangrove yang tersebar di berbagai penjuru kota. Yang paling dikenal adalah KKMB (Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan) yang terletak di jantung kota. Kawasan ini mudah dijangkau pejalan kaki,memiliki infrastruktur dasar seperti jembatan kayu dan beton, serta menjadi rumah bagi bekantan,primata endemik Kalimantan yang kini terancam punah.
Namun, KKMB bukan satu-satunya. Pemkot Tarakan juga memiliki KKMB 2 Boom Panjang,seluas sekitar 24 hektare,yang terkoneksi dengan Sungai Pamusian hingga ke muaranya.Kawasan ini tidak langsung berbatasan dengan laut, melainkan lebih cocok untuk pengembangan wisata sungai dan edukasi vegetasi mangrove air payau, lengkap dengan potensi jalur perahu edukatif dan observasi satwa air.
Lebih ke selatan, ada kawasan mangrove di Mamburungan, dengan luasan sekitar 200hektare.Sebagian besar kawasan ini berada di luar wilayah Lantamal, sehingga terbuka untuk dikelola bersama masyarakat. Yang menarik, di masa lalu sudah ada kerja sama pengawasan antara Pemkot dan masyarakat adat Tidung, yang selama ini hidup berdampingan dengan mangrove sebagai bagian dari kearifan lokal. Di dekat gerbang Lantamal sendiri, sudah ada jalur tracking mangrove yang dibangun, memperkuat posisi kawasan ini sebagai tapak konservasi dan edukasi.
Selain kawasan publik, Tarakan juga memiliki kawasan mangrove yang dikelola swasta,seperti Taman Mangrove IDEC dan kawasan sekitar PT. Aurora. Jika dikelola dalam satu visi konservasi kolaboratif, maka kawasan-kawasan ini bisa menjadi zona korporasi berwawasan lingkungan, termasuk untuk kegiatan CSR, riset karbon biru, atau program adopsi pohon.
Menyambungkan yang Tersebar
Jika kita melihat keseluruhan kawasan konservasi tersebut KKMB di pusat kota, Sungai Pamusian,Mamburungan, hingga kawasan industri dan pantai-maka terbentuklah jaringan ekologis mangrove yang sangat kuat. Inilah mengapa saya menyebutnya sebagai “kebun raya”, bukan hanya karena jenis-jenisnya banyak, tapi juga karena fungsi ekologinya bisa dikembangkan sebagai zona konservasi berbasis pengetahuan dan kolaborasi multipihak.
Bayangkan satu hari, para pelajar bisa menyusuri sungai dari Pamusian sambil mengenal jenis Avicennia dan Sonneratia, lalu mengunjungi KKMB untuk melihat bekantan di habitatnya, dan sore harinya menyusuri tracking mangrove di Mamburungan sambil belajar tentang budaya Tidung. Ini bukan sekadar wisata, tapi pengalaman ekologis dan edukatif yang berkesan.
Langkah Menuju Realisasi
Untuk mewujudkan impian ini, tentu butuh kerja kolektif. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menyusun grand design atau master plan konservasi mangrove Tarakan secara terpadu, melibatkan Dinas Lingkungan Hidup,Dinas Kehutanan,Dinas Pariwisata, perguruan tinggi, komunitas adat,Lantamal, pelaku usaha, serta lembaga riset dan pendukung kebijakan seperti BRIN, BRGM, dan Kementerian LHK. Kolaborasi ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan arah pengembangan.
Dinas Pariwisata memegang peran vital, terutama dalam pengembangan wisata edukatif,promosi kawasan,dan penyusunan paket wisata alam dan budaya berbasis mangrove.Kehadiran mereka sejak tahap perencanaan akan menjamin integrasi antara pelestarian dan pengembangan ekonomi lokal secara berkelanjutan.
Di saat yang sama, pemanfaatan wisata edukasi mangrove berbasis komunitas perlu dikembangkan lebih serius. Bukan sekadar membuat jembatan atau menanam bibit, tapi menyusun program interpretasi lingkungan yang sistematis, pelatihan pemandu wisata, dan promosi kawasan mangrove Tarakan sebagai ikon kota.
Ke depan, saya membayangkan seluruh perusahaan yang beroperasi di sekitar pesisir Tarakan turut berkontribusi aktif dalam pengelolaan taman mangrove di sekitarnya. Tidak sekadar simbolik,tetapi melalui program nyata yang berbasis pengkayaan spesies, pemantauan, dan konservasi habitat. Dengan pendekatan ini,pengelolaan mangrove tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi menjadi gerakan bersama dunia usaha dan masyarakat. Diharapkan, pada saatnya nanti, semua atau sebagian besar dari 202 jenis.
Oleh: Subono Samsudi
Pemerhati lingkungan dan pembangunan, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan, Ketua KMI Tarakan
Discussion about this post