“Mengemas jejak perang dan migas Tarakan sebagai daya tarik wisata sejarah”
Tarakan adalah pulau kecil dengan sejarah besar. Tidak banyak yang menyadari bahwa kota di utara Kalimantan ini pernah menjadi rebutan dalam Perang Dunia II. Ladang minyak yang melimpah menjadikan Tarakan sebagai sasaran strategis Jepang pada Januari 1942 dan Sekutu pada Mei 1945. Tak berlebihan jika Tarakan dijuluki sebagai “The Pearl Harbor of Indonesia.”
Jejak sejarah itu masih bisa kita temukan hingga kini. Ada Museum Perang Dunia II dan Sejarah Migas, situs bunker Jepang, wash tank yang tersenggol bom, menara minyak tua, dan tentu saja Tarakan War Cemetery di kompleks Kodim 0907 yang menjadi tempat peristirahatan terakhir 225 prajurit Australia dari Brigade ke-26, Divisi ke-9, yang gugur dalam operasi perebutan kembali Tarakan.
Sayangnya, kekayaan sejarah ini belum tergarap optimal. Padahal, banyak kota di dunia yang berhasil menjadikan luka perang sebagai daya tarik edukasi dan refleksi. Hiroshima, misalnya, kini dikenal sebagai pusat wisata perdamaian. Normandy di Prancis menjelma menjadi destinasi sejarah D-Day yang mendatangkan jutaan turis tiap tahun.
Potensi City Tour Sejarah
Potensinya jelas ada. Tarakan memiliki kombinasi unik: sejarah Perang Dunia II yang berskala global, jejak migas sebagai motor kolonialisme dan perang, serta komunitas lokal seperti Tarakan Tempo Doeloe yang siap menghidupkan memori sejarah. Tinggal bagaimana kita mengemasnya menjadi city tour tematik yang terintegrasi.
Bayangkan sebuah paket wisata sehari penuh: dimulai dari Museum PD II, lanjut ke bekas sumur minyak tua di Pamusian, mengunjungi bunker Jepang, refleksi di Tarakan War Cemetery, lalu ditutup dengan berkeliling kota lama sambil mendengar kisah Tarakan tempo dulu. Semua ini bisa disajikan dengan narasi yang menyentuh – tentang perang, migas, dan perjalanan Tarakan dari masa lalu hingga kini.
Nama Ganda, Memori Ganda
Salah satu ide kreatif adalah memberi nama ganda pada jalan atau lokasi penting terkait Perang Dunia II. Praktik ini umum di banyak kota dunia. Misalnya, sebuah jalan tetap memakai nama nasional, tetapi ditambah penanda historis.
Mengapa tidak dicoba di Tarakan? Misalnya:
Jalan Yos Sudarso diberi tambahan penanda “Allied Landing Road” karena dekat dengan lokasi pendaratan Sekutu 1945.
Lokasi Tarakan War Cemetery diberi papan nama tambahan “Australian Memorial Park”.
Sebuah taman kota dinamai ganda: nama Indonesia saat ini plus “Brigade 26 Park”.
Dengan begitu, identitas lokal tetap terjaga, tetapi warisan sejarah global juga hadir. Generasi muda dan wisatawan asing akan lebih mudah memahami kaitan Tarakan dengan sejarah dunia.
Nilai Edukasi dan Ekonomi
Wisata sejarah bukan sekadar untuk turis. Lebih dari itu, ini adalah upaya menjaga memori kolektif. Anak-anak Tarakan bisa belajar bahwa kota mereka pernah menjadi panggung pertempuran global. Dari sisi ekonomi, city tour sejarah bisa melengkapi wisata alam Tarakan. Wisatawan yang datang untuk mangrove, bekantan, atau kuliner laut bisa menambah pengalaman dengan tur singkat tentang Perang Dunia II.
Penutup
Tarakan tidak boleh hanya dikenang sebagai kota minyak atau pintu gerbang utara Indonesia. Ia harus dihidupkan kembali sebagai kota sejarah dunia global historical city. Dengan mengemas jejak Perang Dunia II, mengaktifkan komunitas lokal, dan mengadopsi ide kreatif seperti nama ganda pada jalan atau monumen, Tarakan bisa menjadi destinasi unik yang menyatukan masa lalu dan masa depan.
Seperti mutiara yang sempat redup, Tarakan berpeluang kembali bersinar – kali ini sebagai mutiara sejarah dan perdamaian di jalur utara Indonesia. Allahu A’lam.
Tentang Penulis
Subono Samsudi, lulusan Teknik Geologi ITB dan Magister Studi Pembangunan ITB. Pernah bekerja di Departemen Pertambangan dan Energi serta Kementerian Lingkungan Hidup. Di Tarakan, ia pernah menjabat sebagai Kepala Bapedalda, Kadis Lingkungan Hidup & SDA, Kadis Kebersihan & Pertamanan, Kadis Perindagkop & UMKM, dan Kadinkes. Kini aktif di bidang sosial sebagai Ketua Komunitas Mantap Indonesia, Tarakan.
Discussion about this post