OPINI – Secara global Indonesia merupakan 3 negara pengekspor seafood segar di dunia, setelah China dan Norwegia dengan komposisi 21 persen ikan demersal (kakap, kerapu, bandeng, dll), 39 persen ikan pelagis besar (tuna, cakalang, tenggiri) dan 40 persen ikan pelagis kecil (teri, kembung, dll). Untuk ikan jenis tuna saja, Indonesia menyumbang 16 persen kebutuhan tuna dunia, dimana komposisi menurut spesies tuna, diantaranya skip jack, yellowfin, big eye dan albacore.
Namun, ancaman utama produksi perikanan Indonesia adalah penangkapan ikan yang merusak atau destruktif fishing (penggunaan bom ikan, pukat trawl, potasium, penebangan bakau), overfishing (penangkapan ikan yang berlebihan, seperti semua jenis ikan, anak ikan, induk, tak peduli ukurannya, dan penangkapan ikan secara ilegal atau IUU Fishing (Illegal, Unrecorded, Unregulated).

WWF (World Wild Fund) sebuah LSM lingkungan merilis laporan yang berjudul “Living Planet Indexâ€, Kelautan tercatat adanya penurunan signifikan populasi mamalia, burung, reptil dan juga ikan sebanyak 49% sejak tahun 1970 hingga 2012. Bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 13.000 pulau dan penduduknya yang bergantung sebagian besar pada sektor kelautan, akan ikut terancam.



Pemerintah Indonesia telah membuat kode pengelolaan perikanan di Indonesia, yang bernama Wilayah Pengelolaan Perikanan, WPP, yang menjelaskan wilayah berbasis ekologi, sumber daya ikan, dan karakteristik wilayah agar lestari dan berkelanjutan. WPP diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, dengan 11 WPP-NRI. Penomoran dan penamaannya disesuaikan kesepakatan yang ada di lembaga internasional khususnya International Maritime Organization (IMO), International Hydrographic Organization (IHO), dan Food and Agriculture Organization (FAO).
Perairan laut Indonesia berada pada dua area, yaitu area 57 (samudera Hindia, bagian timur) dan area 71 (samudera Pacific, tengah bagian barat ).Dengan pembagian sebagai berikut:

- WPP-NRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;
- WPP-NRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda;
- WPP-NRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat.
- WPP-NRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan;
- WPP-NRI 712 meliputi perairan Laut Jawa;
- WPPN-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali;
- WPPN-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda;
- WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau;
- WPP-NRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera;
- WPP- NRI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik;
- WPP-NRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
Sementara itu, di level perairan internasional, ada lembaga yang namanya RFMO, Regional Fisheries Management Organizations, yang menaungi NAFO dan NEAFC di samudera Atlantik utara, SEAFO di samudera Atlantik tenggara, CCAMLR, selatan samudera India, SPRFMO di samudera Pasifik selatan, SIOFA dan GFCM di laut Mediterranean dan laut Hitam. Kapal ikan asing harus terdaftar di RFMO, untuk memastikan mereka mematuhi aturan IUU FISHING.
Perairan laut Kalimantan Utara masuk WPP-NRI 716. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015, status eksploitasi sumber daya ikan di WPP 716 ini, ikan jenis Demersal, seperti kakap, bawal, dan ikan pelagis kecil seperti teri, kembung, lemuru, masih berada pada level hijau.
Sementara, lobster, udang, kepiting, ikan karang, berada pada level kuning dan merah alias semakin langka. Dengan WPP ini lah, ijin penangkapan ikan dikeluarkan, misal kapal dengan beragam ukuran GT tertentu bisa menangkap ikan hanya di WPP atau bisa lintas WPP. Untuk yang jenis artisanal boat, atau kapal rakyat, nelayan kecil, mereka hanya boleh menangkap ikan diperairan terdekat dan dangkal.
Ancaman Perikanan Kaltara
Sektor perikanan menjadi komoditi unggulan untuk ekspor di Kaltara. Nilai ekspor non migas pada periode Januari hingga Oktober 2018 sebesar USD 910,02 juta, terbesar dari sektor perikanan. Yaitu berupa ikan dan krustasea atau udang/kepiting yang mencapai USD 12,89 juta atau sekitar 180 Milyar rupiah. Jumlah tersebut belum termasuk ekspor ikan, udang, kepiting tak tercatat ke Tawau, Surabaya, dan Jakarta.
Untuk konteks Kaltara ancaman terbesar perikanan adalah:
- Destructive fishing khususnya pukat harimau yang merusak ekosistem dasar sungai/laut tempat berkembang biak anak/bibit ikan, by catch (ikan yang bukan target utama ikut tertangkap)
- Penebangan hutan bakau yang merupakan tempat berkembang biak ikan kecil atau istilah nya nursery ground.
- Overfishing, penangkapan ikan berlebihan beragam jenis ikan, udang, lobster dan kepiting ditangkap semua ukuran kecil, betina dewasa, tak mengenal musim, dll.
- Pencemaran habitat dan ekosistem laut dan sungai oleh kapal berupa tumpahan minyak, batu bara, sampah, dll.
- Penyebaran ikan pendatang invasif seperti nila, gurami, mujair, bawal tawar yang memakan dan merusak habitat ikan endemik Kaltara. Ikan-ikan invasif ini tahan atas perubahan iklim, mampu bertahan hidup di habitat baru, kini mereka jadi panen sampingan hasil tambak yang sebenarnya juga memakan udang hingga hasil tambak tidak maksimal.
Oleh karena itu, dalam konteks Kaltara, solusi jangka pendek harus segera dilakukan membuat kawasan konservasi sistem zonasi yang terdiri dari Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Perikanan Berkelanjutan dan Zona lainnya untuk menjaga kesehatan ekosistem.
Kebijakan ini tentu akan mendatangkan banyak manfaat, seperti peningkatan produksi ikan, karena adanya perlindungan di daerah penting (daerah pengasuhan dan peneluran), juga meningkatkan potensi wisata. Kawasan konservasi tentu saja tidak bisa instan hasilnya, manfaatnya baru terasa untuk jangka panjang, karena harus melalui beberapa tahapan seperti proses pemulihan, penegakkan hukum dan ketaatan yang baik terhadap aturan KKP.
Di beberapa kampung atau distrik di Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat, lokasi proyek kami bekerja, geliat kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) sangat nyata dampaknya bagi pemerintah, karena mereka begitu aktif melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Mereka merasa sangat penting menjaga kawasan perairan mereka untuk memastikan tempat mereka mencari makan aman dan tetap dari perilaku yang merusak.
Kelompok ini berada langsung dalam kordinasi kepala desa dimana mereka membuat rencana pengawasan, melaporkan hasil pengawasan, membuat buku catatan hasil pengawasan dan mendapatkan bantuan dari dana desa untuk kegiatan sosialisasi penangkapan ikan yang berkelanjutan dan pentingnya menjaga ekosistem laut dan pesisir.
Libatkan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pengawasan tindak pelanggaran perikanan, berikan mereka peran sebagai ujung tombak pengawasan untuk memberikan informasi atas adanya pelanggaran.
Oleh karena itu, institusi penegak hukum untuk tindak pidana pelanggaran perikanan seperti pengawas perikanan, polisi perairan, TNI AL dan BAKAMLA menyediakan saluran yang mudah untuk masyarakat melapor. Perlu serangkaian pelatihan pengembangan kapasitas bagi masyarakat dan kelompok pengawas terkait pengawasan mandiri dan pemberian informasi. (oleh: Muhamad Nour)