Bisnis penerbangan itu bagaikan hidup di hutan belantara. Ganas. Susah ditebak. Dan siap-siap diterkam si raja hutan. Kalau tidak cerdik, visioner dan bertangan dingin dijamin mati dimangsa binatang buas. Smart Cakrawala Aviation (SCA) pengecualian. Bagaimana Pongky Majaya membangun bisnisnya? Strategi apa yang diterapkan hingga Smart bisa bertahan ditengah krisis? Berikut tulisannya.
Oleh: Doddy Irvan
Pongky Majaya adalah “New Kids on the Block” di bisnis aviasi. Dia memang sukses di bidang keuangan. Tapi, di dunia dirgantara, Pongky bukan siapa-siapa. Anak bawang. Tidak berpengalaman dan sama sekali tidak mengerti bagaimana membangun perusahaan aviasi.
Berawal di tahun 2017. Pongky ingin membeli pesawat. Sebenarnya bukan buat gagah-gagahan seperti kelakuan “crazy rich” belakangan ini. Beli pesawat untuk menunjukkan kalau mereka kaya raya. Terus pansos di media sosial. Pertanyaannya, buat apa Pongky mau beli pesawat?
“Gak tahu saya pingin beli pesawat aja. Saya tanya kiri-kanan ke teman-teman berapa harga pesawat, biaya parkir, gaji pilot. Terus saya hitung, ah sanggup. Uang saya cukup,” ujar Pongky mengawali kisahnya.

Dia pun mengontak orang Indonesia yang lama menetap di Amerika. Namanya Lian Nasution. Siapa orang itu? Ia pun sebenarnya tidak kenal. Komunikasi hanya melalui telepon. Bersama istrinya Stevi, Pongki terbang ke negeri Paman Sam. Lantas minta diantar ke pabrik pesawat di Kota Almira, Washington.



Tiba di Amerika, kawannya itu seperti ragu. Siapa sih orang ini? Kalau benar orang kaya, penampilannya kok tidak meyakinkan? Kendati setengah hati, Pongky tetap diantar ke sejumlah showroom pesawat. Tujuannya ingin membeli Beechcraft Baron 58TC.
Di tengah perjalanan mencari pesawat itulah, ada kata-kata Lian yang sungguh menohok jantung Pongky.

“Beli pesawat itu senangnya cuma di awal dan di akhir. Diawal, waktu kita pertama kali punya pesawat. Senang, bangga. Dan terakhir ketika pesawat kita laku di jual. Karena tidak sanggup membiayai operasional,” kisah Pongky menirukan kata-kata Lian Nasution.
Kalimat itu begitu membekas. Tapi, tidak membuat pengusaha asal Singkawang ini down. Dia makin termotivasi. Walau gara-gara kalimat itu, transaksi batal. Pongky pulang ke Indonesia dengan tangan hampa. Tapi keinginannya membeli pesawat, makin besar.
Suatu hari di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Pongky melihat sebuah pesawat kecil terbang. Bentuknya tidak meyakinkan. Mirip ikan paus. Ada perasaan meremehkan. Dia juga tidak tahu jenis pesawat apa itu.
Dasar kepala batu, Pongky terus mencari informasi bagaimana cara membeli pesawat. Akhirnya dia menemui seorang kawan yang berprofesi sebagai pilot. Dari kawannya itulah disarankan membeli Cessna Caravan. Tanpa pikir panjang, Pongky mengongkosi kawannya itu ke Amerika. Untuk membeli pesawat yang dimaksud.
“Saya suruh dia ke Amerika. Nyari pesawat. Setelah ketemu saya langsung transfer uang cash. Saya minta segera dikirim ke Indonesia,” cerita Pongky.
Betapa terkejutnya Pongky melihat pesawat pesannya tiba. Ternyata, pesawat itu sama persis dengan yang dia lihat di Halim. Cessna Caravan. Yang dia anggap jelek itu. Yang mirip ikan paus itu. Tapi, Pongky seperti berjodoh dengan Cessna Caravan. Itulah armada andalannya hari ini. Mencoba bersaing di hutan belantara bisnis pesawat perintis.
Punya satu Cessna Caravan bukannya heppy. Malah stres. Pongky sama sekali tidak tahu blas, soal bisnis dirgantara. Dia pikir seperti beli mobil. Datang ke showroom, pilih, bayar dan bawa jalan.
Sedangkan pesawat berbeda. Biar bisa gaji pilot, punya teknisi sendiri kalau tidak punya izin, mohon maaf, gak bakalan diizinin terbang.
Atau anggaplah punya izin sebagai pesawat pribadi. Terus pesawat itu cuma untuk dipamerkan? Sama sekali bukan tipe Pongky. Dia pengusaha low profile. Tidak suka pamer kemewahan. Sebagai orang bisnis nalurinya memberi petunjuk. Bagaimana pesawat yang dia beli itu bisa menghasilkan uang. Petualangannya di bisnis airline pun dimulai.
Begini ceritanya. Karena belum punya izin, Cessna Caravan itu dititipkan di sebuah airline. Pongky fokus mengurus izin dan membuat perusahaan penerbangan. Yang bikin dia pusing, persyaratannya seabreg. Apalagi, izin baru dikeluarkan setelah perusahaan memiliki minimal 3 pesawat. Nah loh, dari mana lagi datangkan pesawat dua biji itu? Satu saja sudah bikin pusing.
Disinilah kuncinya. Tuhan pasti memberikan jalan bagi siapa pun yang ingin berusaha dan bekerja keras.
Entah dari mana, Pongky dapat informasi ada perusahaan penerbangan di Malaysia bernama Malaka Air, mau menjual pesawat. Jenisnya Cessna Caravan. Dan bisa kredit.
“Tanpa pikir panjang saya langsung deal. Kirim uang muka.” Bagaimana bayarnya? “Gampang lah, itu urusan belakang. Yang penting ada tiga pesawat dulu, sebagai syarat perizinan,” kisahnya.
Akhirnya Pongky punya tiga pesawat. Izinnya pun berproses. Selama menunggu keluar, Pongky tetap memutar otak, bagaimana tiga pesawat ini menghasilkan uang. Minimal, bisa tetap beroperasi.

Satu hari Pongky mengetahui rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Barat. Sebagai putra daerah, dia ingin berkontribusi dalam kunjungan Presiden tersebut. Datanglah Ia menemui Gubernur Kalbar.
“Saya kan punya pesawat. Minimal bisa dipakai buat transportasi para pejabat,” cerita Pongky.
Tawaran Pongky tidak bertepuk sebelah tangan. Gubernur setuju. Pesawatnya ditugaskan mengantar jemput pejabat teras Kalbar dan pasukan Paspampres.
Ternyata di lokasi lain, pemilik perusahaan tempat tiga pesawatnya dititip, keberatan. Itu akibat Pongky tidak tahu regulasi. Bagaimana mau terbang, kalau pilot dan pesawatnya tidak punya izin. Posisi Pongky terjepit. Tidak mungkin dia membatalkan menerbangkan pejabat teras dan Paspampres itu. Padahal, Pongky sendiri yang menawarkan diri.
“Kejepit saya. Mereka harus di terbangkan. Masa saya batalin. Salah satu pejabat yang terbang pakai pesawat saya salah satunya Pangdam XII/Tanjungpura Pak Andika Perkasa. Dimana saya taruh muka saya,” katanya berapi-api.
Disinilah naluri Pongky diuji. Ia harus membuat keputusan yang maha sulit. Terbang atau mengikuti perintah perusahaan tempat dia menitipkan pesawat. Akhirnya dia memilih nekad terbang. Hasilnya, balik dari mengantar pejabat itu pesawatnya di grounded alias kena pinalti akibat melanggar regulasi. Pongky stres berat. Tapi bagaikan kancil, dia selalu menemukan jalan keluar.
“Saya temui Gubernur minta tolong bagaimana caranya pesawat itu bisa terbang menjemput para pejabat itu. Untung akhir bisa terbang,” jelas Pongky.
Satu urusan selesai. Kini giliran Pongky berhadapan dengan pemilik perusahaan tempat menitipkan pesawat. Saya seperti disidang. Ia merasa dipermalukan. Dari situ, pengusaha sederhana ini bertekad, akan membangun perusahaan yang nantinya bakal mengalahkan maskapai tempat pesawatnya dititipkan itu. Dan rasanya, hari ini dia berhasil.
Entah mengapa, waktu mengisahkan perjuangannya yang berdarah-darah itu, Pongky tampak terharu. Air matanya menetes. Sesekali dia menahan air mata itu pakai jarinya. Mungkin dia malu kalau saya melihatnya sampai menetes.
Pagi itu, kami ngobrol di Warung Kopi Nikmat, Jalan Sejahtera Singkawang. Warung kopi legendaris di Singkawang ini berada persis disebelah rumah orang tuanya. Memori Pongky pun kembali ke masa lalu. Di kawasan pecinan inilah, Pongky tumbuh dan besar. Di toko baju milik orang tuanya itulah pondasi bisnisnya dibangun.
“Sejak kecil saya sudah ditugaskan orang tua menjaga toko. Disitu saya belajar bisnis dan tanggung jawab,” kisahnya haru.

Siapa sangka, beberapa tahun kemudian, Pongky menjelma dan sangat diperhitungkan di bisnis dirgantara. Sesungguhnya, Pongky tidak hanya ingin jadi pemain di dunia penerbangan. Dia punya mimpi besar menjadi pilot. Menerbangkan sendiri pesawat hasil jerih payahnya Apa daya mimpi itu dikuburnya dalam-dalam. Sebab suami Stevi itu mengidap buta warna.
Tahukah Anda Smart Cakrawala Aviation salah satu perusahaan swasta dibalik penentuan lokasi Ibu Kota Negara (IKN) Penajam Paser Utara. Bagaimana Pongky membesarkan Smart? Seperti apa dia memperlakukan pilot dan karyawannya? (bersambung)