Menu

Mode Gelap

Opini

Irsan Noor


					Irsan Noor Perbesar

Irsan Noor

Namanya Irsan Noor. Umurnya 34 tahun. Demi menjadi guru bergelar PNS, Ia memilih ditempatkan di pedalaman. Bagaimana perjuangannya? Berikut kisahnya.

Oleh: Doddy Irvan

Saya sebenarnya sudah lama ingin menulis kisah Irsan Noor. Saya berjumpa dengannya, saat mengikuti reses anggota DPRD Provinsi Kaltara, Abertus Stevanus Marianus di Long Peso, Kabupaten Bulungan. Tapi tulisan itu tertunda karena saya harus ke Malinau, Singkawang dan Pontianak bersama Smart Cakrawala Aviation. Baru hari ini menyempatkan menulis guru luar biasa ini.

Irsan Noor hadir di reses itu mewakili kepala sekolah SD 005 Long Lejuh. Kebetulan atasannya itu sedang tugas ke Tanjung Selor. Ia dipesani untuk menyampaikan kondisi SD 005.

“Kami butuh ruang belajar. Selama ini kelas 1 dan 2 digabung jadi satu. Kasihan murid jadi tidak fokus,” jelasnya saat itu.

width"250"

Suara Irsan bergetar. Terdengar sekali dia gugup. Sepertinya, Ia tidak terbiasa berbicara di forum seperti malam itu. Tapi karena amanah kepala sekolah, dia harus sampaikan. Berharap Albert dapat memperjuangkannya.

Saya memperhatikan Irsan dari pintu ruang pertemuan. Setelah dia duduk, lalu saya dekati. Mengajak ngobrol, sambil berbisik. Karena pertemuan masih berlangsung.

Dari bisikan-bisikan itu saya bisa menyimpulkan, guru muda ini begitu mengagumkan. Saya begitu antusias mengajaknya ngobrol. Rupanya, Irsan Noor ini anak Sebengkok, Tarakan.

Gambaran saya, dia anak muda pekerja keras. Bahkan, sebelum kuliah dia mengaku bekerja sebagai buruh di pelabuhan SDF. Pengakuan itu dia sampaikan sambil tersipu. Sepertinya dia malu. Tapi buat saya itu mengagumkan. Apalagi dia menjadi buruh sambil kuliah.

Usahanya berhasil. Tahun 2013 dia lulus dari Universitas Borneo. Diujung namanya, kini tersemat gelar S.Pd. Petualangannya di dunia pendidikan pun dimulai. Irsan langsung mengemas kopernya menuju Kabupaten Berau. Dia diterima sebagai guru honorer di sebuah SD di Biduk Biduk. Sebuah kecamatan di pesisir Kabupaten Berau.

Kendati jauh dari kota, Irsan mengaku betah mengajar disana. Apalagi, ditempat itulah dia menemukan seorang wanita yang menjadi istrinya.

Sambil menjadi guru honorer, Irsan mengikuti tes CPNS. Keinginannya menjadi guru tetap sangat besar. Pada saat tes itulah, Irsan memilih Long Lejuh. Sebuah desa di Kecamatan Long Peso. Informasi soal Long Lejuh sangat minim. Modalnya cuma bertanya ke seorang kawan yang pernah ke Long Lejuh.

Sebenarnya, dia bisa memilih SD lain. Yang letaknya di kota atau minimal desa mudah dijangkau. Namun, Irsan khawatir SD-SD itu kuotanya sudah penuh. Bisa jadi dia gagal lulus pegawai negeri.

“Saya tanya gimana Long Lejuh? Ada listrik kah? Bisa mancing? Teman saya bilang ada. Ya sudah saya pilih Long Lejuh. Dari pada gak keterima milih di tempat lain,” ceritanya sambil tersenyum.

Itulah dasar Irsan memilih Long Lejuh. Desa yang masih jauh tertinggal. Hanya ada dua akses. Lewat sungai Kayan yang bergiram dan mahal. Atau lewat jalan loging kayu yang berbahaya. Keduanya tidak dia persoalkan. Tujuannya satu, dia harus jadi pegawai negeri.

Usahanya berhasil. Pilihannya bersedia ditempatkan di Long Lejuh membuatnya lulus tes. Sejak tahun 2019 Irsan resmi menjadi guru SD 005. Kendati Long Lejuh sepi dan fasilitasnya minim, Irsan menikmati. Dia seperti sedang berpetualang. Apalagi saat kuliah Irsan aktif di kegiatan pecinta alam. Jadi sudah tidak kaget lagi.

“Saya merasa seperti kemping waktu di Mapala dulu,” kisahnya.

Satu hal yang membuat Irsan betah karena banyak spot mancing di Long Lejuh. Setiap hari setelah mengajar dia langsung pergi memancing. Selain hobby, itulah caranya mengusir sepi dan membunuh waktu. Yah, Irsan hidup sendiri. Istri dan anaknya tinggal di Tanjung Selor.

Semua urusan dia kerjakan sendiri. Mulai mencuci baju hingga memasak. Masakan pun ala kadarnya. Menu istimewa cuma ikan hasil pancingan. Selebihnya, mie instan.

Di SD 005 Irsan mengajar di kelas 6. Dia bercerita betapa berat tugasnya itu. Menurut Irsan, masih banyak murid-muridnya yang belum lancar membaca.

“Kendalanya disini. Anak-anak desa ini pulang sekolah harus membantu orang tuanya di ladang. Sudah tidak ada waktu lagi mengulang pelajaran di rumah. Ditambah lagi metode belajar yang pakai cara lama,” ungkapnya.

Terpaksa, sebelum mempelajari pelajaran lainnya, Irsan harus kembali mengajari membaca. Padahal siwa kelas 6 ini bakal menghadapi ujian nasional.

“Bagaimana mereka menyerap pelajaran kalau membaca saja tidak bisa,” lanjutnya lagi.

Selain guru, Irsan juga dipercaya merangkap bendahara sekolah. Inilah kesempatan dia ke Tanjung Selor menemui istrinya. Yah, karena Long Lejuh belum ada jaringan internet, Padahal sejatinya, laporan itu dapat dikirim online, seperti sekolah lain. Jadilah setiap bulan dia bergantian dengan kepala sekolah membuat laporan manual. Lantas diantar langsung ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bulungan.

Tugas ke Tanjung Selor memang membuat Irsan senang. Itulah saatnya dia bisa melepas rindu dengan istri dan buah hatinya. Namun perjuangannya menuju ibu kota kabupaten itu lumayan berat.

Dia hanya sanggup lewat jalur darat. Tidak mungkin lewat sungai. Karena sangat mahal. Ongkosnya sekitar 500 ribu rupiahrupiah, sampai Tanjung Selor. Sedangkan pakai Honda CB miliknya, cuma modal 100 ribu rupiah. Biar pun dia terpaksa menumpuh perjalanan hingga 7 jam.

Perjuangannya belum selesai. Sebagai seorang muslim, terkadang Irsan terpaksa meninggalkan sholat Jumat. Yah, di Long Lejuh tidak ada mushola. Apalagi masjid. Jika ada waktu baru dia sholat jumat di desa terdekat.

“Jaraknya sekitar dua jam dari Long Lejuh. Itu pun sudah masuk Kabupaten Malinau. Sekalian mandi disana. Baru bisa jumatan,” ujarnya.

Kendati minoritas hidup di sebuah desa terpencil, tak membuat Irsan patah semangat. Dia berupaya menikmatinya. Jadi guru di pedalaman memang cita-citanya. Bahkan Long Lejuh ini menjadi pilihannya. Dia bertekad menyelesaikan kontrak hingga 10 tahun kedepan. Sesuai perjanjian saat dia menerima SK.

Guru seperti Irsan ini banyak di pedalaman. Bahkan di desa-desa terpencil di perbatasan. Mereka rela hidup menderita, jauh dari keluarga. Demi sebuah cita-cita, anak desa juga bisa maju seperti anak-anak kota.(*)

 

 

 

Artikel ini telah dibaca 106 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Memaknai Sila ke 5 Pancasila Melawan Abuse Of Power..!!! Oleh: Marihot GT Sihombing, S.H,.S.Th.,M.H Advokat/Pengacara Sahata Law Firm

2 Juni 2025 - 14:53

QRIS Meningkatkan Transaksi dan Menumbuhkan Ekonomi di Kalimantan Utara

1 Juni 2025 - 17:37

Penurunan Suku Bunga Acuan: Keuntungan Per-bank-an

26 Mei 2025 - 22:03

Kebijakan Tepat di Tengah Ketidakpastian Global

20 Mei 2025 - 22:16

QRIS “Merisaukan Donald Trump ?”

13 Mei 2025 - 13:31

“Pesona” Militer melahirkan Pendidikan berakal

8 Mei 2025 - 09:29

Trending di Opini