Setiap pagi saya terbiasa jogging di kawasan Sport Center Tarakan. Di sana, saya menyaksikan langsung sisa-sisa pangkal pohon mangrove berumur puluhan tahun yang ditebang demi kepentingan sesaat. Perambahan ini terjadi secara perlahan tapi nyata. Tidak gaduh, tapi makin meluas.
Fenomena ini menggambarkan dengan jelas apa yang disebut para ahli sebagai “tragedy of the commons” tragedi dari sumber daya bersama yang tidak dijaga. Ketika hutan mangrove, yang seharusnya menjadi milik bersama untuk generasi sekarang dan masa depan, dibiarkan tanpa pengawasan, maka setiap orang merasa berhak “mengambil bagian” semaunya. Hasilnya adalah kerusakan ekosistem, hilangnya fungsi ekologis, dan bencana ekologis yang menanti.
Padahal, Tarakan tidak kekurangan sejarah kebijakan pelestarian lingkungan. Bahkan, pada masa Wali Kota Dr. H. Jusuf SK (1999–2009), Tarakan dikenal sebagai kota yang visioner dalam konservasi kawasan lindung. Kebijakan seperti:
Penetapan Perda dan Perwali untuk perlindungan hutan lindung dan mangrove, pemasangan patok batas dan papan informasi kawasan lindung,
pemagaran kawasan konservasi secara fisik, serta Pendirian Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB), telah membentuk fondasi yang kuat bagi perlindungan lingkungan pesisir.
Namun, seiring perubahan regulasi dan kewenangan pemerintahan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pengelolaan hutan lindung dan KKMB kini berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, melalui Dinas Kehutanan Provinsi. Di sinilah tantangan koordinasi muncul. Pemkot Tarakan tidak lagi memiliki kewenangan langsung atas pengelolaan, namun sebagai wilayah yang secara langsung menerima dampak dari keberhasilan atau kegagalan perlindungan kawasan, Pemkot tetap memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk terlibat aktif.
Faktanya, KKMB secara legal masih aman secara luasan, tetapi sarana dan prasarananya kian tak terawat. Papan nama yang lusuh, jembatan kayu yang rapuh, dan minimnya kehadiran petugas menunjukkan penurunan perhatian dan investasi. Di sisi lain kota, perambahan mangrove di kawasan Rusunawa dan Sport Center terus berlangsung tanpa pengawasan memadai.
Ini adalah bentuk nyata dari tragedy of the commons di level lokal. Ketika tidak ada koordinasi yang erat antara pemilik kewenangan (Pemprov Kaltara) dan pemilik wilayah (Pemkot Tarakan), maka kawasan lindung yang sejatinya milik bersama menjadi “tak bertuan”.
Untuk menghindari kerusakan lebih jauh, perlu ada langkah nyata dan terukur:
1. Pemprov Kaltara perlu memasukkan perlindungan kawasan mangrove dan KKMB secara eksplisit dalam RPJMD 2025–2030, dengan indikator kinerja yang jelas dan anggaran yang memadai.
2. Pemkot Tarakan harus proaktif menjalin kerja sama pengelolaan melalui mekanisme koordinasi lintas kewenangan, termasuk perjanjian kerja sama atau pembentukan unit pengelola bersama.
3. Revitalisasi fisik KKMB harus menjadi prioritas bersama, agar kembali berfungsi sebagai kawasan edukasi, konservasi, dan wisata lingkungan.
4. Pemantauan dan pengawasan kawasan rawan perambahan harus dilakukan secara kolaboratif antara Dishut Provinsi, DLH Kota, aparat penegak hukum, dan masyarakat.
5. Kampanye dan edukasi publik tentang pentingnya menjaga mangrove harus digencarkan kembali, terutama kepada generasi muda.
Tarakan punya sejarah emas dalam perlindungan lingkungan. Tapi sejarah saja tidak cukup. Ia harus dijaga, dilanjutkan, dan diperbarui sesuai konteks zaman. Warisan baik dari masa lalu, seperti keberadaan KKMB dan hutan lindung, harus menjadi kekuatan bersama bukan menjadi contoh “tragedi” dari sistem yang gagal berkoordinasi.
Jika kita gagal menjaga kawasan mangrove yang sudah tumbuh dan matang, maka menanam seribu bibit pun takkan menebus kehilangan itu. Sekarang saatnya bertindak, bersama.
Oleh: Subono Samsudi
Ketua Komunitas Mantap Indonesia (KMI) Tarakan
Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan
Discussion about this post