TARAKAN, Fokusborneo.com – Dugaan penyimpangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp2,195 miliar di salah satu bank BUMN di Tarakan menyeret seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Tarakan.
Kasus ini melibatkan oknum ASN yang diduga memanipulasi data kependudukan untuk memuluskan pengajuan KUR yang seharusnya tidak layak diterima.
Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing E.N., pegawai bank BUMN; S., agen pencari nasabah; dan M., ASN di salah satu dinas kota.
ASN tersebut diduga aktif mengubah data calon debitur, termasuk usia, status perkawinan, dan alamat rumah, agar calon penerima KUR yang tidak memenuhi syarat tetap bisa lolos verifikasi administrasi.
Wali Kota Tarakan, Khairul, membenarkan keterlibatan ASN di bawah jabatannya. ASN yang bersangkutan berinisial MS, bekerja di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Tarakan. Menurut Khairul, kasus ini muncul akibat kelemahan sistem pengawasan internal.
“Kondisinya dulu itu semua mulai dari verifikasi data sampai pencetakan dokumen bisa dikendalikan oleh satu orang. Masing-masing staf bisa membuat keputusan sendiri. Mekanisme kontrolnya tidak ada, jadi satu orang bisa memutuskan, bahkan keputusan yang seharusnya sampai ke kepala dinas tidak sampai,” jelasnya.
Khairul menambahkan, pendelegasian kewenangan yang terlalu penuh tanpa pengawasan rentan disalahgunakan.
“Kalau pendelegasian sangat penuh, itu berisiko. Kalau yang diberikan amanah tidak amanah, repot seperti ini yang terjadi. Anak buah bisa memutuskan sendiri, dan memang ada kelemahan kontrol,” ujarnya.
Menurut Wali Kota, sistem yang ada sebelumnya memungkinkan staf mulai dari tenaga honor, pegawai negeri, hingga P3K bisa mengelola seluruh proses: menerima data, memverifikasi, hingga mencetak KTP dan KK.
“Semua staf bisa melakukannya, sehingga tidak ada saling kontrol. Satu orang bisa memutuskan semuanya. Itu no management menurut saya,” kata Khairul.
Khairul menegaskan, saat ini penguatan kontrol internal menjadi prioritas. “Saya sudah mengingatkan, termasuk Jumat pagi kemarin, supaya pengawasan melekat lagi. Jangan terlalu memberikan kebebasan penuh, karena memang kebebasan itu bagus untuk mempersingkat pelayanan, tapi kalau yang diberi amanah tidak amanah, repotnya seperti ini,” ujarnya.
Terkait status ASN yang terlibat, Wali Kota menjelaskan, proses hukum masih berjalan.
“Kalau sudah ditahan, biasanya ada pemberhentian sementara dari jabatan, tapi gaji tetap diberikan sebagian, sekitar 50 persen. Setelah putusan inkracht, gaji dan tunjangan dihentikan. Kalau pidana umum dengan hukuman di bawah lima tahun mungkin bisa dipulihkan, tapi kalau pidana korupsi, ASN pasti diberhentikan dengan tidak hormat, berapapun nilai korupsinya,” jelas Khairul.
Wali Kota menekankan, pihaknya tidak ingin berspekulasi sebelum putusan pengadilan. “Keputusan belum ada, sekarang baru penyelidikan ke penyidikan. Nanti kami serahkan sepenuhnya ke mekanisme yang ada. Proses bisa berlanjut ke banding, kasasi, atau PK. Kita tunggu hasil keputusan pengadilan,” katanya.
Selain itu, Khairul menyebut kasus ini sebagai pembelajaran penting terkait manajemen dan pengawasan internal di pemerintahan. “Saya minta kontrol pengawasan harus melekat, dan staf yang diberi kewenangan harus paham batasnya. Jangan sampai satu orang bisa memutuskan semuanya sendiri,” ujarnya.
Kasus ini terjadi sepanjang 2022–2023 dan bersamaan dengan penyimpangan yang dilakukan pegawai bank dan agen pencari nasabah. Kejaksaan Negeri Tarakan telah menetapkan ASN tersebut sebagai tersangka dan berkoordinasi dengan Pemkot Tarakan untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur.
Sementara itu, sebelumnya Kepala Kejaksaan Negeri Tarakan, Deddy Yuliansyah Rasyid, S.H., M.H., menegaskan peran ASN tersebut sangat krusial dalam memanipulasi data kependudukan calon debitur.
ASN yang bersangkutan diduga mengubah berbagai elemen data, mulai dari usia, status perkawinan, hingga alamat rumah, agar calon debitur yang seharusnya tidak memenuhi syarat tetap bisa lolos dalam pengajuan KUR.
“Beberapa calon debitur secara administrasi sebenarnya tidak layak menerima kredit, tapi datanya dimanipulasi sehingga masuk kriteria. Ini jelas merugikan negara,” kata Deddy, Senin (3/11/2025).
Selain mengubah data, ASN ini diduga mengetahui sepenuhnya bahwa tindakannya salah.
“Tersangka ini memiliki kewenangan mengelola sistem kependudukan dan mampu masuk ke aplikasi untuk melakukan perubahan data. Meskipun begitu, dia tetap menerima upah atau imbalan dari tersangka lainnya,” jelas Deddy.
Perubahan data ini bukan hanya soal formalitas administrasi. Beberapa data yang diubah ditujukan untuk menghindari sistem BI Checking, agar pengajuan KUR terlihat sah.
Contohnya, seorang calon debitur yang belum memiliki rumah sendiri diberi alamat seakan-akan sudah punya rumah sendiri yang terpisah dari orang tua.
Modus ini terjadi selama tahun 2022 dan 2023, bersamaan dengan penyimpangan KUR yang dilakukan tersangka lain, yaitu E.N., pegawai bank, dan S., agen pencari nasabah. ASN ini bekerja sama dengan kedua tersangka untuk memuluskan proses pencairan kredit fiktif.
“Fokus utama kita di penyidikan terkait ASN ini adalah kerugian negara, bukan pemalsuan data warga digunakan, tapi pemalsuan digunakan untuk memuluskan tindak pidana,” tegasnya.(**)















Discussion about this post