Menu

Mode Gelap

Opini · 9 Des 2022 14:19 WITA ·

Aldera Pius


					Aldera Pius Perbesar

blank

Doddy Irvan Imawan (Pai).

Oleh : Doddy Irvan Imawan

Jurnalis

width"450"

 

Suatu hari saya mendapat pesan Whatsapp dari Emilia, Maminya Rama anak saya. Dia mengirimkan draf buku dalam bentuk PDF. Ternyata itu draf buku berjudul Aldera.

Saya sempat membaca sekilas draf itu. Buku yang menggambarkan perjalanan organisasi mahasiswa yang sangat familiar bagi saya.

Aldera adalah Aliansi Demokrasi Rakyat. Organisasi ini tidak bisa dipisahkan dari Pius Lustrilanang. Saya juga cukup mengenal siapa Pius.

Kembali kepercakapan saya dengan Emilia. Dia meminta saya untuk menghubungi Budiman Sudjatmiko. Mantan aktivis mahasiswa yang juga politisi PDI Perjuangan.

“Bisa gak Mas Budiman menulis testimoni untuk buku Aldera? Tanya Lia. “Ok gue coba,” jawab saya.

Saya pun mengirim WA ke Budiman Sudjatmiko. Sekaligus draf buku tersebut.

“Mas, Aldera minta testimoni untuk buku ini bisa gak?” tanya saya. “Boleh. Kapan deadlinenya? ujarnya. “Dikasih waktu 2 hari mas. Nanti sekalian bedah buku. Pendek saja 1 paragraf.” “Oh. Ok,” kata Budiman menutup pembicaraan.

Dua hari kemudian saya dikontak Lia lagi. Menanyakan testimoni Budiman Sudjatmiko. Karena buku ini sudah akan naik cetak. Saya kembali menghubungi Kakak Iparnya Kakak saya itu.

Tak lama kemudian Budiman mengirimkan teastimoninya. Ini pendapatnya tentang Buku Aldera:

Aldera (Aliansi Demokrasi Rakyat) adalah perintis…Ia mewarnai dinamika gerakan pemuda progresif di dekade terakhir kekuasaan Orde Baru.

Pegiat-pegiatnya lahir pada awal 1990an melalui gerakan pembelaan petani & pemuda yang berujung pada perjuangan politik: mengakhiri otoriterisme Orde Baru.

Kini vetaran-veterannya mewarnai kancah perpolitikan berbagai partai (dalam kekuasaan bahkan oposisi).

Konsistensi itu penting tapi relevansi itu penting dan…lebih berdampak!

-Budiman Sudjatmiko (pegiat masyarakat & mantan anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2009-2019)

Itulah Aldera dimata mantan Ketua PRD itu. Aktivis yang pernah dipenjara oleh Rezim Soeharto. Dituduh dalang kerusuhan 27 Juli. PRD atau Aldera.

Begitu juga Budiman Sudjatmiko dan Pius Lustrilanang adalah dua aktivis mahasiswa. Mereka berbeda organisasi. Berbeda idiologi namun memiliki musuh bersama. Bernama Soeharto.

Makanya dengan senang hati Budiman memberikan testimoni. Bahkan mengakui kontribusi Aldera dalam gerakan reformasi 98.

Saya belum tahu apakah testimoni ini dimuat di buku Aldera. Karena saya belum pernah membaca edisi cetaknya. Tapi paling tidak, saya ikut berkontribusi dalam buku ini. Minimal menjadi calo testimoni. Dan juga memenuhi permintaan Lia, Mami dari anak saya.

Lantas bagaimana ceritanya saya bersentuhan dengan Aldera dan Pius Lustrilanang? Begini kisahnya.

Saya adalah generasi beruntung. Kuliah di Jakarta angkatan 1996. Dan tinggal di Kota Bogor.

Dua tahun sebelum reformasi itu adalah kawah candradimuka. Bagaimana saya di-rekrut, di-doktirin, di-radikalisasi dan di terjunkan ke lapangan, sebagai aktivis mahasiswa.

Bukan malah aktif di organisasi kampus, saya memilih menjadi kader Front Pembela Hak-hak Rakyat (FPPHR). Organisasi mahasiswa yang berbasis di Universitas Pakuan. Kebetulan, Sekretariat FPPHR di sebelah rumah saya di Ciheuleut.

Disitulah pendidikan politik saya peroleh melalui diskusi-diskusi kritis. Sejumlah nama tokoh mahasiswa yang begitu populer lahir dari organisasi ini. Sebut saja, Teddy Wibisana, Tosca Santoso, Deddy Ekadibrata, Herlan Artono, Donny Dunda, Almarhum Imral Gusti dan banyak lagi.

FPPHR fokus pada advokasi petani. Cijayanti, Rancamaya dan Tapos. Tiga daerah ini adalah wilayah perjuangan FPPHR.

Mereka mengadvokasi para petani yang tanahnya digusur rezim Soeharto. Disinilah saya dan kawan-kawan dilatih dan diterjunkan hidup bersama para petani. Agar bisa merasakan penderitaan mereka.

Gerakan mahasiswa era itu secara alamiah seperti membagi kapling gerakan. FPPHR mengarap petani. Ada juga yang mengarap mahasiswa dan rakyat miskin kota. Nah, ini adalah kapling Aldera.

Makanya, gerakan-gerakan mahasiswa ini terafiliasi. Seperti FPPHR membangun aliansi dengan Aldera. Organisasi ini banyak berisi mahasiswa Universitas Nasional (Unas). Sekretariatnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Karena berjaringan sejumlah aktivis Aldera kerap mampir ke FPPHR. Makanya saya mengenal sejumlah aktivis Aldera. Sebut saja, Hendrik Dikson Sirait yang lebih senang dipanggil Iblis. Ada juga Diva dan tentu saja Pius Lustrilanang.

Mereka sering ke Bogor untuk diskusi. Atau merencanakan aksi. Sampai akhirnya kami mendengar Pius diculik. Kawan-kawan di Bogor pun geger.

Anda sudah tahu. Sebelum 1998 itu rezim Soeharto sedang gila-gilanya. Sejumlah aktivis menjadi sasaran penculikan. Termasuk Pius. Namun, Ia panjang umur. Dilepaskan dan tetap hidup. Sedangkan teman-teman aktivis lainya hilang hingga hari ini. Wiji Thukul salah satunya.

Kami pun diselimuti rasa takut. Infomasi beberapa kawan menghilang tiba-tiba menjadi bahan diskusi. Mencari pun tak tahu harus kemana. Yang ada kami hanya berusaha untuk tidak diculik.

Sampai akhirnya informasi Pius di lepaskan oleh para penculiknya sampai ke Bogor. Saya ingat sekali bersama Almarhum Imral Gusti dan Teddy Wibisana membahas kebebasan Pius.

Tapi situasi FPPHR mulai berubah. Organisasi ini telah mengalami perpecahan. Teddy dan Imral memilih keluar dari FPPHR membentuk Solidaritas Indonesia (SI). Saya bergabung di SI.

Saya dan Imral ditugaskan Teddy ikut menjemput Pius di Bandara Soekarno-Hatta. Informasinya, Pius kembali ke Jakarta dari Palembang. Dia dijadwalkan memberikan testimoni di Komnas HAM, Jalan Latuharhary Jakarta Pusat.

Kami menjemput menggunakan angkot 06 dari Bogor. Itu adalah perjalanan pertama saya, ke bandara pakai angkot. Tujuannya tidak lain, kami ingin memberikan semangat kepada Pius.

Ia dijadwalkan akan membongkar aksi penculikan. Momentum krusial ini bisa Anda baca di buku Aldera.

Setelah itu, hubungan kami dengan Pius terus berlanjut. Terlebih lagi pulang dari memberikan testimoni di Eropa, Pius memilih tinggal di Bogor. Saya dan teman-teman jadi sering bertemu dan berdiskusi.

Namun, jalan politik yang dipilih Pius berubah signifikan. Ia bergabung di PDI Perjuangan dan membentuk Brigade Siaga Satu (Brigas).

Loh, kok Kawan Pius malah membentuk organisasi seperti satgas. Berseragam hitam-hitam. Sepatu laras, pakai baret yang diisi anak-anak muda. Mereka menjaga eks gedung Bioskop Ramayana. Hubungan pun mulai berjarak.(bersambung)

Print Friendly, PDF & Email
Artikel ini telah dibaca 432 kali

blank badge-check

Redaksi

blank blank blank blank
Baca Lainnya

Pancasila Nilai yang Tak Pernah Usang

1 Juni 2024 - 08:10 WITA

blank

Terus Mengabdi Jangan Berhenti

22 Mei 2024 - 19:47 WITA

blank

Urgensi Kebangkitan Desa Pasca Terbitnya UU Desa Nomor 3 Tahun 2024

15 Mei 2024 - 21:06 WITA

blank

Pendidikan dan Original Kebangsaan

2 Mei 2024 - 13:03 WITA

blank

Implikasi Yuridis Perolehan Suara Calon Legislatif Mantan Narapidana Dengan Ancaman 5 Tahun Yang Diketahui Pasca Pemungutan Suara

18 April 2024 - 14:37 WITA

blank

Ramadhan Kareem

14 Maret 2024 - 12:02 WITA

blank
Trending di Opini