Menu

Mode Gelap

Opini · 18 Apr 2024 14:37 WITA ·

Implikasi Yuridis Perolehan Suara Calon Legislatif Mantan Narapidana Dengan Ancaman 5 Tahun Yang Diketahui Pasca Pemungutan Suara


					Dian Antarja Pegiat Pemilu. Foto : Ist Perbesar

Dian Antarja Pegiat Pemilu. Foto : Ist

Penulis :  Dian Antarja (Pegiat Pemilu)

 

PENDAHULUAN

width"450"

Tepat pada 14 Februari 2024 yang lalu, Indonesia telah melangsungkan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin hingga wakil rakyat untuk lima tahun ke depan. Baik, Pemilihan Presiden, hingga Pemilihan Legislatif. Nuansa politik masih di rasakan hingga saat ini meskipun pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 2024 telah berlalu. Pemilihan umum adalah wujud nyata demokrasi, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilihan umum untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif.

Ketentuan mengenai pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6). Bunyi pasal tersebut yakni: (1) pemilihan umum dilaksanakan secara, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dilaksanakan setiap lima tahun sekali, (2) pemilihan  umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (3) Peserta pemilihan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik, (4) Peserta Pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah Adalah Perseorangan, (5) Pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, (6) ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan Undang-undang. Pemilu sebagai perwujudan nilai demokrasi tertuang dalam amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” adalah dengan melaksanakan Pemilihan Umum, dengan melibatkan rakyat secara langsung untuk memilih orang-orang yang akan mewakili mereka nantinya. Artinya, masyarakat diberikan kewenangan yang cukup luas untuk memilih dan menentukan wakilnya. Oleh karena itu, untuk bisa memperoleh dukungan dari rakyat, peserta pemilu akan melakukan cara-cara tertentu. Cara-cara tertentu yang dilaksanakan pun beragam, baik dengan cara yang baik, benar dan diperbolehkan oleh Undang-undang, hingga cara-cara yang tidak baik dan cenderung mengarah kepada pelanggaran. Yang menjadi persoalan bagaimana dengan calon yang sudah melewati tahapan pemungutan suara baru kemudian ditemukan bahwa yang bersangkutan mantan narapidana yang belum memenuhi syarat menjadi calon ?

PEMBAHASAN

Regulasi yang mempengaruhi jalannya penyelenggaraan Pemilu yakni, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, untuk, selanjutnya akan disebut UU Pemilu. Undang-undang ini merupakan suatu landasan hukum yang terbentuk oleh penyederhanaan, Penyatuan dari beberapa regulasi pemilu mencakup Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai landasan hukum yang ideal bagi pemilihan umum secara serentak. Kondisi ideal tersebut tentunya tidak senantiasa berjalan mulus tanpa adanya suatu fenomena maupun anomali yang cenderung mencederai nilai-nilai idealistik dari Pemilu itu sendiri, sejak awal persiapan tahapan hingga pelaksanaan Pemilihan Umum terakhir pun selalu terjadi pelanggaran terhadap norma Pemilihan Umum. Hal-hal tersebut seringkali dapat berasal dari adanya suatu bentuk-bentuk pelanggaran pemilu yang berujung pada pelanggaran tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun sengketa dalam pemilu baik itu yang berkaitan dengan proses maupun hasil pemilu atau dapat berasal dari interpretasi regulasi yang kurang sesuai dilakukan oleh beberapa kalangan sehingga mengakibatkan perbedaan pandangan yang justru dapat mencederai nilai dan norma itu sendiri, dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi seperti pada UU Pemilu saat ini. Hal tersebut tercermin dalam Undang-Undang Pemilu terkait dengan Prasyarat Bakal Calon Legislatif yang merupakan suatu hal yang sensitif dan dianggap bertentangan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih dan berkualitas. Dalam Pasal 240 ayat (1) huruf (g) dijelaskan bahwa seorang bakal calon legislatif “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

Dalam UU Pemilu sebagaimana dalam pasal 1 angka 27 Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR,anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya dalam 172 disebutkan Peserta Pemilu untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Pasal 241 ayat (1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan ayat (2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal Partai Politik Peserta Pemilu. Pasal 168 ayat (2), Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Pasal 353 ayat (1) huruf b Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan dengan cara: mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 386 ayat (2) huruf b Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan. Dilihat dari berbagai ketentuan tersebut, bahwasanya pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden), maupun wakil-wakilnya (DPR, DPD, dan DPRD). Untuk pemilihan DPR dan DPRD pesertanya adalah Partai Politik, namun menggunakan sistem proporsional terbuka.

Hal ini juga dapat diliat dari pertimbanagan putusan MK Nomor-114PUU-XX2022,hlm 690-691, sistem proporsional terbuka memungkinkan adanya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih. Dalam sistem ini, pemilih memiliki kebebasan langsung untuk memilih calon anggota legislatif yang mereka anggap paling mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemilih dengan wakil yang terpilih, karena pemilih memiliki peran langsung dalam menentukan siapa yang akan mewakili mereka di lembaga perwakilan. Selain itu, sistem proporsional dengan daftar terbuka memungkinkan pemilih untuk menentukan calonnya secara langsung. Pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon dari partai politik tanpa terikat pada urutan daftar calon yang telah ditetapkan oleh partai tersebut. Hal ini memberikan fleksibilitas kepada pemilih untuk memilih calon yang mereka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka, tanpa harus terikat pada daftar calon yang sudah ditentukan. Kelebihan lainnya adalah pemilih dapat berpartisipasi langsung dalam mengawasi wakilnya di lembaga perwakilan. Dalam sistem ini, pemilih memiliki kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih, sehingga meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih. Terakhir, sistem proporsional dengan daftar terbuka dinilai lebih demokratis karena dalam sistem ini, representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon, sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon yang mendapatkan dukungan publik yang signifikan. Hal ini mendorong inklusivitas politik, mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat, dan mencegah dominasi pemerintahan oleh satu kelompok atau partai politik,

Dalam sitem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif, sehingga ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif (caleg) yang dipilih, dan dalam sistem ini aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, dengan demikian terdapat keterlibatan aktif dari rakyat (kedaulatan rakyat) dalam memilih caleg, sehingga partai politik tidak bisa sepihak dalam menentukan calegnya menjadi caleg terpilih, melainkan ada partisipasi aktif dari pemilih untuk menentukan (memilih) yang akan mewakilinya di parlemen.

Berdasarkan Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu putusan MK No. 87 Tahun 2022 Peraturan KPU nomor 10 tahun 2023 Pasal 11 ayat (1) huruf g salah satu syarat untuk menjadi calon adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang ulang.

KESIMPULAN

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih lewat pemilihan umum (pemilu). Selama memenuhi syarat, siapa pun boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, baik ditingkat DPR RI, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan mengenai pencalonan anggota legislatif telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khusu snya Pasal 240 ayat (1). Norma dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa seorang calon anggota legislatif (caleg) harus berstatus warga negara Indonesia (WNI). Pasal itu juga mengatur tentang syarat usia minimal, pendidikan caleg hingga mantan narapidana yang mau menjadi caleg.

Dalam pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang telah di uji konstitusionalitasnyasehingga melahirkan putusan MK No. 87 Tahun 2022 sebagai salah satu syarat untuk menjadi calon adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, Putusan tersebut memiliki akibat hukum bagi mantan narapidana yang akan mencalonkan kembali dalam pemilu legislatif yaitu diantaranya:

  1. Mantan Narapidana yang dijatuhi hukuman pidana 5 tahun atau lebih diperbolehkan untuk kembali mencalonkan dalam Pemilu legislative dengan beberapa syarat
  2. Ketentuan pada poin satu tidak berlaku bagi tahanan politik, artinya untuk tahanan politik bisa mencalonkan dalam pemilu legislative tanpa harus mengikuti syarat-syarat yang telah ditentukan
  3. Mantan Narapidana yang akan mencalonkan dalam pemilu legislative harus melewati jangka waktu 5 tahun dihitung setelah selesai menjalani masa tahanan.
  4. Mantan Narapidana yang akan mencalonkan dalam pemilu legislative harus mengemukakan pada public bawah dirinya adalah mantan narapidana
  5. Mantan narapidana yang akan mencalonkan dalam pemilu legislative bukanlah pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Apabila ketentuan sebagaimana dalam putusan MK No.87 Tahun 22 tidak terpenuhi maka akan berimplikasi pada tidak terpenuhinya syarat pencalonan sebagai calon legislatif bagi mantan narapidana. Dalam Pasal 426 ayat (1) huruf c UU Pemilu menyebutkan Penggantian Calon Terpilih dapat terjadi apabila calon yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Dalam ketentuan Pasal 426 tersebut, tidak menjawab apabila calon anggota DPR, dan DPR tidak memenuhi syarat calon sejak dari awal pencalonan, karena ketentuan di ayat (1) huruf c, hanya mengatur apabila calon yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, artinya yang bersangkutan pernah bersyarat kemudian menjadi tidak bersyarat, hal ini tentu berbeda apabila calon tersebut sejak awal memang tidak bersyarat menjadi calon. Ini menunjukkan apabila seseorang caleg dari awal sudah tidak memenuhi syarat menjadi calon, maka pencalonan yang bersangkutan sejak awal seyogyanya dianggap tidak pernah ada dan harusnya dinyatakan Batal Demi Hukum (Nietig Van Rechtswege) karena keputusan pencalonan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat dan seharusnya suara yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan sebagai suara sah sehingga perolehan suara hasil pemilu di jadikan nol suara, karena sejak awal pencalonannya seharusnya dianggap tidak pernah ada, dan tidak dapat dikategorikan dalam ketentuan Pasal 426 UU Pemilu.

Print Friendly, PDF & Email
Artikel ini telah dibaca 84 kali

blank badge-check

Redaksi

blank blank blank blank
Baca Lainnya

Pancasila Nilai yang Tak Pernah Usang

1 Juni 2024 - 08:10 WITA

blank

Terus Mengabdi Jangan Berhenti

22 Mei 2024 - 19:47 WITA

blank

Urgensi Kebangkitan Desa Pasca Terbitnya UU Desa Nomor 3 Tahun 2024

15 Mei 2024 - 21:06 WITA

blank

Pendidikan dan Original Kebangsaan

2 Mei 2024 - 13:03 WITA

blank

Ramadhan Kareem

14 Maret 2024 - 12:02 WITA

blank

Kampus Cerminan Negara/Negara Cerminan Kampus?

13 Februari 2024 - 13:56 WITA

blank
Trending di Opini